Catatan Hampir Sebuah Subversi-Kuntowijiyo
OLEH MOHAMAD TOHIR
KUNTOWIJOYO,
saya mengenal namanya pertama kali saat masih sekolah dulu. Dia seorang
cendekiawan atau lebih pasnya sosiolog. Pendapatnya sering dikutip dalam
buku-buku pelajaran Sosiologi, selain Kuntjoroningrat, Selo Sumardjan, Kacung
Marijan, dan lain-lain.
Saat
itu saya belum tahu bahwa Kuntowijoyo adalah seorang sastrawan ternama. Saya
tak tahu bahwa ia punya banyak karya novel maupun cerpen. Eh, ternyata banyak
sekali, ada Khotbah di Atas Bukit (1976), Pasar (1994), yang sering dijadikan
pembahasan di fofrum-forum sastra itu. Cerpen-cerpennya apalagi, banyak sekali.
Banyak
yang bilang bahwa orang sastra akademisi (orang yang belajar sastra di kampus,
di fakultas sastra) tidak bisa berkarya, bikin novel, cerpen, atau karya sastra
lainnya. Dan fakta sendiri mencatat banyak sastrawaan yang lahir tidak dari
fakultas sastra. Tapi Kunto tidak masuk
di dalamnya. Kunto ini lulusan Fakultas Sastra UGM. Dan sekarang, maksud saya saat
buku ini terbit (saya memang akan sedikit bercerita tentang buku karyanya yang
sedang saya baca), dia dosen di kampus yang sama, bersanding dengan faruk HT.
yang cenderung teoritis itu.
Kuntowijoyo
ini penulis produktif. Dia mengetik dengan sebelas jari (baca;kedua jari
telunjuk tangan kanan dan kirinya). Itu bukan karena tidak bisa, tapi keadaan
yang tidak memungkinkan. Fisiknya begitu lemah. Dia berkarya terus seperti
berkejaran dengan maut. Saraf motoriknya hampir lumpuh. Dia terserang kanker
otak. Tapi, hebat, ia terus berkarya.
Buku
yang tengah saya baca adalah kumpulan cerpennya yang semuanya sudah pernah
tersebar di media massa, baik majalah maupun koran. Tiga cerpennya, yang ada
dalam kumpulan ini, memperoleh predikat “Cerpen Terbaik Kompas” tiga tahun
berturut-turut. Laki-Laki yang Kawin dengan Peri tahun 1995, Pistol Perdamaian
tahun 1996, dan Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan tahun 1997. Sekadar tambahan,
Kompas selalu memilih cerpen-cerpen terbaik dalam satu tahun yang dimuat di
halaman ssastra minggunya dan kemudian dibukukan.
Ah,
dari tadi berputar-putar. Kata para pakar ini tidak baik. Yakni, membahas
sebuah karya dari sisi luar karyanya, seperti profil penulis, maksud
kepengarannya, penghargaan apa yang pernah dioberikan untuk karyanya itu, dan
seterusnya. Itu menurut penganut new
critisism. Menghadirkan biografi pengarang, akan menyeret pembaca pada
sesuatu di luar sastra itu sendiri, kata mereka.
Saya
hanya akan menceritakan beberapa judul cerpennya saja dan yang jelas bukan
ketiga tadi. Yang lain saja lhah,
yang tidak dapat penghargaan dan tidak diulas oleh pakar-pakar sastra. Tapi
saya bukan kritikus. Alih-alih kritikus, membaca dan mengapresisi secara layak
saja saya kesulitan. Padahal ini penting. Karena seperti kata Nukila Amal,
maknailah meski hanya satu kata. Teks, tulisan, atau sebuah karya akan diam dan
tak berbunyi kalau tidak dimaknai atau dibunyikan oleh pembacanya. Sesederhana
apapun memaknainya, tidak jadi masalah.
Rumah
yang terbakar bercerita tentang surau bordir di tengah hutan yang dibakar oleh
seorang ustad. Rumah itu sejarahnya panjang. Sebuah dusun, tak disebut namanya,
mempunyai dua pantangan. Kalau melanggar, danyang
desa akan ngamuk. Pertama, dilarang kawin dengan orang dusun di dekatnya.
Kedua, dilarang bikin surau atau tempat ibadah. Yang pertama adalah penyebab
yang kedua. Sejarah muncul kedua alarangan itu adalah dimulai dari cek cok.
Dusun itu kerjanya tani, sedangkan dusun sebelah pedagang. Kawin dengan orang
pelit (pedagang), tak akan bahagia, prinsip orang tua dusun itu. Apa-apa
dihitung. Perbedaan itu ternyata menjadikan perang. Karenanya, orang dusun itu
harus berbeda dalam segala hal dengan dusun sebelahnya. Orang harus punya jati
diri, begitu. Kebetulan, karena dusun sebelah adalah orang-orang santri, maka mau
tidak mau orang dusun itu harus jadi abangan.
Suatu
ketika Jokaryo, salah satu warga, tiba-tiba jadi santri. Ia berencana bikin
surau. Tentu warga panas. Mereka yakin danyang akan marah. Umpama tiang atau
tembok baru dibuat, pasti akan berpindah tempat ke sungai atau tengah hutan
esok paginya. Maka, membangun suraunya terpaksa di tengah hutan. Itupun tak
boleh ada mihrabnya.
Jadilah
surau itu. Namun, ketika Jokaryo meninggal, tak ada penerusnya. Surau itupun
suwung, tak terawatt, rusak, dan jadi tempat berteduh pencari kayu yang
kelelahan.
Suatu
ketika, Bu Kasno, datang sebagai penyelamat. Ia dapat wangsit dari
prewangannya, syaratnya kaya harus memperbaiki rumah itu. Surau itu disulap
jadi seperti bangunan baru. Tapi, fungsinya sebagai surau lenyap. Surau itu
jadi rumah hiburan.
Dusun
itu jadi terkenal. Setiap malam rumah di tengah hutan itu ramai sekali. Rumah
itu menawarkan kebebasan dan kesenangan; judi, mendem, sekaligus servis ‘kamar’.
Ada
tiga reaksi warga dusun. Yang tidak setuju Bu Kasno bilang, meninggalkan
syari’at itu boleh tapi kalau sampai main itu menyalahi cara adat dan agama
manapun.
Yang
setuju bilang jadi orang Jawa itu harus ja dan wa. Harus apa adanya. Mendem itu
enak, ya mendem. Main itu tidak dilarang dalam undang-undang. Yang dihukum itu
memperkosa, lain halnya jika sama-sama suka. Yang paling tidak setuju, mereka
yang dekat masjid.
Entah
mengapa tiba-tiba ada masjid, padahal surau saja dilarang mbangun. Kunto
mungkin terpeleset, namun masih selamat karena ia menerangkan keanehan itu.
Adalah
Yulianto, ustad masjid dusun. Ia berencana membakar bekas surau itu. Saat
aktivitas rumah tengah hutan itu libur selama tiga hari karena kematian suami
Bu Kasno, tibalah saat itu.
Rumah
itupun dibakar oleh Yulianto setelah terlebih dulu dipastikan benar-benar sepi.
Ia kembali ke dusun dan paginya orang melaporkan bahwa rumah maksiat itu
terbakar.
Namun,
Yulianto kaget sekali. Ternyata ada orang yang turut hangus terbakar. Lelaki
dan perempuan korban itu, yang kemudian segera terlacak yang perempuan adalah
warga dusun, dan lelakinya dusun seberang.
Cerita
lainnya adalah Jejak Nabi Nuh. Berkisah tentang seorang bernama Pak Kadir dan
keluarganya. Suatu ketika mereka bertugas di Amerika. Istrinya kepincut lelaki
dari Belanda bernama Johan van Straten. Pak Kadir merelakan istrinya kawin
dengan lelaki ketiga. Anaknya ikut ibu.
Pak
Kadir pulang sendirian dan banyak dapat cerca dari teman-temannya. Ia hanya
menangkis ‘itulah hakikat demokrasi’, kau hidup di alam kebebasan, itu namanya
HAM, itulah Islam.Tidak ada yang memahaminya.
Suatu
ketika ia datang ke Belanda dan hampir dipertemukan dengan istri, yang
sebenarnya tak pernah dinikahi oleh Johan, dan anaknya. Namun ia menolak untuk
bertemu dan menjawab bahwa ia tidak sendirian. Dulu Nabi Nuh meninggalkan istri
dan anaknya saat negerinya diterjang
banjir. Ia merasakan apa yang dirasakan Nabi Nuh saat itu. Ia dilahirkan
seolah-seolah untuk mengikuti jejak Nabi Nuh.
Cerita
lain berjudul Lurah. Pak Pe’I namanya. Suatu ketika ia muntab karena di depan
rumahnya ditemukan tahi bergeletakan begitu saja. Tentu itu sebuah penghinaan,
karena sudah ketiga kalinya. Ia merasa dihina, dan menghina seorang lurah
berarti menghina pemerintah. Maka ia mengutus agar dibentuk panitia khusus
mengusut pelaku itu melalui LMD. Cerita berjalan seru karena dibumbui saling
intrik dengan LMD dan terduga pelaku, sentuhan rasa curiga, dan diakhiri dengan
kesadaran Pak Pe’i setelah mendengarkan khutbah bahwa curiga itu tidak baik.
Jihad melawan hawa nafsu atau diri sendiri lebih penting.
Cerita-cerita
Kunto ternyata begitu sederhana, namun indah. Kesederhanaan itu selalu nampak
dari alam pikiran tokoh-tokoh ceritanya yang kebanyakan adalah orang-orang
desa. Orang-orang desa yang kental dengan kleniknya, seperti orang-orang desa
dalam cerpen Rumah yang Terbakar tadi. Kunto begitu piawai dan lugas
menghadirkan cerita realis semacam itu ternyata, dibalik profilnya yang
akademisi. Hampir di semua cerpennya, unsur-unsur itu ada. Semua itu dituturkan
Kunto dengan renyah dan penuh humor. Seakan-akan semua itu bukan lagi sakral
dan mistis, tapi lucu. Seperti parodi. Seperti Pak Pe’i yang mengatakan bahwa
pilihannya disandarkan pada jejak Nabi Nuh, bukan serta merta adalah keseriusan,
melainkan kegelian.
Membaca
cerpen Kuntowijoyo berbeda dengan membaca cerpen-cerpen Budi Darma, Danarto,
atau Seno Gumira Ajidarma. Pembaca yang tidak mengikuti teori-teori sastra,
tidak akan mengernyitkan dahi.
Kalaulah
sebuah bobot dan makna dalam sebuah cerita itu tergantung pembaca, maka saya
belum bisa membacanya secara serius dan mendalam. Saya belum menyelaminya,
seperti misalnya, apa maksud dibalik tutur Kunto, ideologi atau kelompok
seperti apa yang diunggulkan Kunto lewat Pak Syafi’i yang karena lisan Jawa
keseleo menjadi pak Pe’I, dan lain-lain sebagaimana para penganut Cultural
Studies.
Tapi
paling tidak, bahwa sastra itu menghibur, dapat kita temui dengan membaca
cerita Kunto ini.
Kampungbaru,
2013
Posting Komentar