Oleh Mohamad Tohir
TIBA-tiba aku merasa kenyang. Padahal baru dua atau tiga
sendok nasi yang masuk ke perutku. Beberapa jam yang lalu perutku
merengek-rengek dan waktu mengaso masih lama.
Kuserahkan
beberapa lembar ribuan pada kasir di dekat pintu tanpa meunggu uang kembalian.
Panas matahari menyengat dan menampar wajahku begitu keluar rumah makan itu.
Kepercepat langkah. Aku ingin menghabiskan sisa hari ini dengan tiduran di
kamarku.
Kulempar tas ungu
mungilku begitu saja. Stelan jas yang baru sebulan umurnya tak kugantung
seperti biasanya, limbung di pinggir kasur dengan lengannya menjuntai ke
lantai.
Kubenamkan
wajahku pada bantal. Mataku terasa hangat dan bantalku segera basah. Dadaku
kembang kempis tertahan pada empuk kasur.
***
PIKIRANKU masih
melayang-layang saat di warung makan tadi. Tak seperti biasanya, warung agak
sepi. Hanya nampak empat atau lima orang saja yang makan siang tadi. Semua
perempuan. Semua berkulit putih dan bermata sipit. Atau mungkin mataku yang
salah. Tidak. Aku sendiri heran. Perempuan berkulit putih dan bermata sipit
makin banyak sekarang. Bukan hanya nongol di film-film asing atau iklan sabun
mandi saja, di sudut-sudut antrean toilet umumpun mereka selalu hadir.
Beberapa teman
sekantorku juga sama, banyak yang tiba-tiba memoles diri di salon menjadi
brekulit putih dan bermata sipit. Atasanku pernah mendekatiku dan berkata:
”Dari semua
karyawan di sini kau yang paling cantik. Apalagi kalau kau berkulit putih dan
bermata sipit.”
Kutanggapi itu
dengan dingin (meski aku senang ia bilang aku cantik). Aku muak sekali dan
ingin muntah rasanya. Kalau saja bukan atasanku, mungkin aku akan meludahi
matanya.
Mengapa cantik
harus berkulit putih dan bermata sipit? Aku heran. Aku muak, jijik, ingin
muntah. Sialan!.
Beberapa pasang
mata sipit di rumah makan tadi nampak memerhatikanku. Mungkin mereka iri dengan
kecantikanku yang belum terpoles berbagai make up murahan. Atau mereka menyukai
gerak bibir mungilku saat mengunyah carot head stick kesukaanku?
Entahlah. Apa peduliku. Aku keburu muak dan kenyang terlebih dahulu. Atau
mereka sama sepertiku, muak kepadaku? Biar saja.
“Apa aku
cantik?”tanyaku pada Bubu saat aku masih bersamanya setahun lalu.
***
BUBU. Tentu itu
nama panggilan sayangku untuknya. Enak diucap dan merasuk sekali. Seperti
permen yang lembut dan manis yang ingin selalu kukulum dan tak bakal bisa habis
dalam mulutku.
Bubu memandangku
penuh arti. Tentu saja ia tak akan langsung bilang aku cantik. Aku suka sekali
ia bercerita tentang perempuan-perempuan dalam novel yang baru saja ia baca.
“Aku terkesima
dengan perempuan yang dilukiskan oleh Haruki Murakami dalam novelnya yang baru kubaca.
Yang jelas aku menyukaimu. Selalu menyukaimu”.
Kemudian ia akan
memberikan novel itu padaku. Begitu selalu. Sudah puluhan judul novel darinya
yang berderet rapi di rak buku di kamarku. Kata-kata tumpah ruah dan mengatakan
dengan sendirinya bahwa aku memang cantik. Tak ada perempuan berkulit putih dan
bermata sipit dalam novel-novel itu.
***
NAMANYA Bubu. Itu
saja. Toh ia suka dan tak marah kupanggil begitu. Ia seorang kutu buku yang
juga suka menulis cerita. Ceritanya selalu dikejar-kejar oleh koran untuk
dimuat di hari minggu. Beberapa cerita dipersembahkannya padaku. Aku suka
sekali.
“Kenapa kau suka
buku?” aku pernah bertanya begitu.
Ia lantas seperti
terkejut, seakan baru menerima pretanyaan itu untuk pertamakalinya. Lalu ia
akan mencari jawaban dari imaji-imaji yang terserak seperti anak kecil yang
ditanya oleh gurunya saat SD. Mungkin sekarang aku juga sama keran pertanyaan
itu sudah pantas disodorkan padaku. Aku suka belanja buku-buku selain dia
sering memberiku. Aku sudah mempunyai perpustakaan pribadi seluas ruang
tahanan. Ah, kenapa ruang tahanan. Toh aku tak tahu berapa luasnya. Kira-kira
segitu lah.
“Kenapa kau suka carot
head stick?” ia malah balik bertanya. Tapi aku suka dia tahu apa yang
kusuka. Barangkali ia juga sama saat tadi kutanya. Ia juga sekali memandangi
bibirku saat mengunyah carot head stick kesukaanku itu. Aku jadi merasa bibirku
yang terindah. Buktinya beberapa kali ia berharap aku menciumnya.
***
ENAM bulan yang
lalu, saat aku keluar dari kamar mandi dan tubuhku masih berbalut handuk,
sebuah sandek masuk ke nomorku.
“Sayang, mungkin
kita harus mengakhiri hubungan ini. Mungkin seperti dalam cerita pada
novel-novel itu, kitapun mempunyai cerita tersendiri, cerita kita.”
aku seperti
disambar petir. Apakah kalimat itu adalah kutipan dari sebuah novel, aku tak
tahu.
“Ada apa, Sayang?
Apakah aku menyakitimu? Apakah kau telah terbawa arus oleh cerita dalam
novel-novel. Apakah kau sengaja membuat cerita fiksi dari hubungan kita selama
ini? Sejauh itukah?” kuberondong ia dengan pertanyaan-pretanyaan itu.
The message has
been sending, muncul pada permukaan layar
ponsel mungilku. Hingga detik ini belum ada balasan yang masuk. Aku yakin
sandek itu terkirim.
***
AKU membeli
sebuah novel di sebuah toko buku baru. Novel itu terpajang di rak yang paling
menonjol dan langsung tertangkap oleh mata begitu masuk toko. Novel itu karya
Bubu.
Aku membacanya.
Perempuan dalam novel itu adalah prempuan berkulit putih dan bermata sipit.
Novel yang buruk.
Kuletakkan novel
itu di meja makan di rumah makan biasanya. Kurobek-robek sampulnya,
kuinjak-injak. Halaman-halamannya juga kurobek. Kumasukkan mulutku. Kukunyah
lalu kukeluarkan kembali. Segan aku untuk menelannya.
Teman sekantorku
hanya bengong melihatku makan kertas.
***
AKU bertemu
dengan perempuan berkulit putih bermata sipit itu. Ia pacar Bubu, akunya dengan
bangga. Kuraba-raba sekujur tubuhnya dengan mataku yang menyelidik. Kuremas-remas
paha, bokong, dan dadanya-juga dengan mataku yang menyelidik. Semua tak seindah
dan sesempurna milikku. Meski aku tak seputih dan bermata sipit. Dia juga tak
secantik diriku, akuku. Sama sekali tak cantik. Bibirnya juga tak seindah dan
semungil bibirku dan tentu saja tak bisa mengunyah carot head stick. Aku jadi
ingin muntah.
***
TENGAH malam aku
terbangun. Aku dapat mencium aroma tubuhku yang terasa ketat oleh keringat
kering. Mataku sulit kubuka. Sisa air mata mengerak pada bulu-bulu halus di tepian
mata..
Suara jangkerik
berderik-derik di luar sana. Dari jendela kaca yang cukup lebar di kamarku,
nampak dedaunan hijau kehitam-hitaman oleh gelap malam. Air yang menetes dari
ujung-ujungnya menimbulkan bunyi yang nyaring ketika jatuh di genangan pada
potnya.
Hujan tak begitu
deras, namun tenang dan anteng. Entah sudah berapa lama, aku tak tahu.
Aku hanya ingin
mandi.
Air hangat dari
shower membaluri seluruh tubuhku. Dari cermin yang cukup lebar di kamar
mandiku, aku dapat melihat setiap jengkal tubuhku, lekuk-lekuknya,
rambut-rambut halus di bagian tertentu, sedikit bekas luka, dan warna kulitnya
yang putih. Ya, aku berkulit putih. Apakah aku juga bermata sipit?
New Village,
August '12