Cerita Ketjil dari Klampok



Ngluri Mandeganing Leluhur

Oleh : Mohamad Tohir

Orang-Orang Klampok Purba

I
MEMANG hanya cerita kecil. Itupun dengan makna apa adanya. Dalam artian yang diceritakan di sini adalah tentang desa terkecil salah satu kecamatan di Kabupaten Bojonegoro. Andaikata yang menjadi prasyarat terbentuknya sebuah desa adalah populasi penduduk dengan jumlah minimal seribu, maka desa ini tak akan pernah ada. Seperti tercatat pada  data-data di kantor kelurahan, Klampok hanya memiliki 247 Kepala Keluarga (KK) dan jumlah penduduk tak lebih dari delapan ratus tujuh puluh sembilan jiwa.
Tentu saja bukan masalah kecil atau besarnya yang menjadi bahasan utama cerita kecil ini. Semua ini hanya ikhtiar agar yang kecil tidak dilupakan karena tertutup bayang-bayang yang besar. Pada intinya apa yang pernah dipesankan Bung Karno pada anak bangsa dengan ungkapan jasmerah (jangan sekali-kali melupakan sejarah!) menjadi slogan dalam penulisan sejarah ini.
Kalau yang dimaksudkan oleh Soekarno dengan sejarah adalah cerita masa lampau, maka cerita kecil inipun musti disebut juga sebagai sejarah meskipun-lagi-lagi-sejarah kecil. Memang yang lampau selalu identik dengan sesuatu yang usang dan layak masuk kotak pandora. Akan tetapi, bahwa membaca dan memahami cerita masa lampau adalah belajar dari kenyataan pengalaman (sedangkan pengalaman adalah guru terbaik, kata banyak orang), inilah yang terpenting.
Apakah catatan sejarah ini akan mendapat pengakuan? Saya tidak tahu. Saya tidak berfikir jauh ke sana. Paling tidak ini akan berguna buat saya sendiri, warga desa saya, teman-teman di warung kopi langganan, dan orang-orang dekat saya. Ada benarnya sejarah itu dimaknai sebagai sajarotun atau pohon. Sejarah kecil ini adalah anggota kecil dari pohon besar itu. Kalau yang nampak di permukaan seperti peristiwa-peristiwa besar yang kelak menjadi cikal bakal bangsa ini adalah ranting-ranting dan dedaunan segar-segarnya maka cerita atau sejarah ini adalah serabut kecil bagian akarnya. Hanya serabut kecil. Tak lebih. Serabut kecil itu tak pernah diperhatikan dan diperhitungkan oleh mata kita yang memandang pohon itu. Kadang serabut akar itu dicabuti penggembala kambing, dimakan semut atau kadal, atau dipangkasi oleh pemiliknya—kalau pohon itu adalah pohon hias.

II
Klampok adalah nama buah ubi-ubian sejenis bentol, talas, yang banyak tumbuh di kawasan tengah pulau Jawa. Seperti kebanyakan desa lain, cerita asal muasal desa dapat ditarik mundur dari namanya, tentu tak terkecuali juga Klampok. Contoh kecil saja sebuah desa bernama Mojoagung, yang namanya diambil dari cerita perjuangan babat alas orang pertama penghuni desa itu dengan menanam pohon maja di tanah atau lahan pertamanya. Harapannya maja akan semakin besar dan berkembang.
Hanya saja, ini sangat sayang sekali, tak ada sumber yang jelas mengenai asal-usul nama Klampok. Apakah Klampok itu diambil dari nama ubi-ubian itu atau bukan, tak ada sumber yang bisa dimintai keterangan. Belum lagi soal bahwa buah klampok tak bisa ditemui tumbuh di tanah Klampok. Bahkan bagaimana wujud atau bentuk fisik tumbuhan Klampok itu, sepanjang yang saya temui dan tanyai tak ada yang bisa menggambarkan.
 Mungkinkah bukan Klampok dalam artian tumbuhan itu? Mungkinkah klampok adalah bahasa Jawa kuno atau bahasa sansakerta? Lagi-lagi tak ada sumber yang bisa dimintai keterangan.

III
Kalau Kawan bepergian melewati jalan raya dari Bojonegoro hingga Babat, sebelum perempatan Kapas, akan melewati pula beberapa desa yang salah satunya bernama Sukowati dan Mojodeso. Kalau biasa naik angkutan umum, orang biasa  turun di pasar Mojo. Di pasar Mojo itulah, di sisi kanan jalan raya ada papan kecil bertuliskan Klampok dan tanda panah menunjuk arah utara. Maka, bila Kawan berkenan berjalan terus ke utara, Kawan akan memasuki sebuah desa kecil.
Kalau misalnya naik motor, tak lebih dari sepuluh menit dengan kecepatan sedang, Kawan sudah bisa mengitari jalanan desa kecil itu. Seperti saat hari raya, orang-orang Klampok bisa mengelilingi desa dari rumah ke rumah tak sampai masuk waktu tengah hari.
Begitu kecil desa itu memang. Itulah Kawan, seperti ditunjukkan olah papan kecil tadi, namanya desa Klampok.Tercatat di data kelurahan, untuk tahun lalu (2011) total keseluruhan warga desa Klampok tak sampai menembus angka seribu, hanya sampai delapan ratus tujuh puluh sembilan jiwa.

IV
Malam itu (06 Maret 2012) saya berhasil menemui orang tua itu, yang menurut banyak orang usianya paling tua di Klampok. Orang biasa memanggilnya Mbah carik, merujuk bahwa beliau pernah menjabat sebagai sekretaris desa yang saat itu disebut carik. Sukidi (97 th), nama pak tua itu. Seperti kebanyakan warga, saya lebih akrab dengan panggilan Mbah Carik.
Dari Mbah Carik inilah kemudian saya tahu sekelumit cerita lama tentang desa saya. Sekelumit ini sendiripun saya dapatkan hanya berdasarkan ingatan Mbah Carik yang kadang-kadang lupa (menurut pengakuannya sendiri).
“Kalau ditanya asal-muasal nama Klampok”, kata Mbah carik dengan suara paraunya, “mungkin tak ada yang tahu. Saat itu orang masih belum biasa dengan budaya arsip, ini masalahnya. Tahun 1950, ketika saya masuk desa inipun, sudah memasuki masa keempat periode pemerintahan desa. Dua tahun kemudian (1952), saya menjadi carik di Klampok. Kebetulan, yang memimpin desa saat itu, mulai 1934, adalah mertua saya, Parto Wijoyo, namanya.
Kau tahu, mengapa orang Klampok dan Sukowati ada pantangan makan ikan bencel? Tentu kau tak tahu. Jangankan kau, akupun belum ada saat cerita itu terjadi. Namun yang jelas, pantangan itu berlaku hanya untuk Sukowati dan Klampok. Lainnya tidak.
Pada mulanya, Klampok memang bagian dari Desa Sukowati sebagaimana dusun Losari, Ngglagah, Ngeluk, dan Kalipang. Sebagai dusun, Klampok begitu kecil. Saat saya menjadi carik pertama kali, jumlah penduduk keseluruhan baru mencapai dua ratus tujuh puluh jiwa. Saat menjadi carik itulah, saya sedikit banyak tahu tentang asal-muasal desa Klampok. Saya juga ngluri saat itu, yakni utak-utik, merangkai, dan melestarikan cerita dari berbagai sumber tentang Klampok.
Nama Sukowati, tahu apa artinya? Suko itu senang dan wati itu wedok (wadon, perempuan, perawan, gadis). Dan itulah yang terjadi saat itu secara turun temurun. Lurah Sukowati adalah pengejawantahan dari nama desanya sendiri, suka main perempuan. Ceritanya tragis, saat itu ketika ada gadis cantik, lurah tak segan-segan meminjamnya laiknya barang sewaan. Bahkan, saat orang minta surat keterangan desa untuk melangsungkan pernikahan, lurah tak segan-segan menyetubuhi mempelai perempuannya. Nah, orang-orang Klampok tidak terima melihat  kenyataan itu. Itu sebuah kejahatan dan kebusukan, sebuah tindak asusila dan amoral, tak pantas dilakukan oleh bahkan seorang pemimpin. Dan Klampok ingin berontak. Klampok ingin mempunyai lurah sendiri. Klampok tak ingin diperlakukan seperti itu. Klampok ingin mandega (berdiri pemerintahan sendiri).
Kemudian beberapa orang Klampok menghadap asisten wedono (istilah untuk pegawai pemerintahan kecamatan saat itu) untuk  meminta ijin membentuk pemerintahan baru. Ijin langsung diberikan dengan syarat mampu menjaga keselamatan dan kesejahteraan warga. Yang dikhawatirkan adalah muncul reaksi dari orang Sukowati. Kebiasaan saat itu adalah main santet. Dan untuk menjaga diri, empat orang tokoh Klampok bertapa melakukan meditasi dan kumara, yakni nyuwun marang Sing Kuwasa supaya Klampok slamet. Dan atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa, berdirilah Klampok”.

Klampok, 14 Mei 2012

Read More →

TENTANG PE’I


Catatan Hampir Sebuah Subversi-Kuntowijiyo

OLEH MOHAMAD TOHIR

KUNTOWIJOYO, saya mengenal namanya pertama kali saat masih sekolah dulu. Dia seorang cendekiawan atau lebih pasnya sosiolog. Pendapatnya sering dikutip dalam buku-buku pelajaran Sosiologi, selain Kuntjoroningrat, Selo Sumardjan, Kacung Marijan, dan lain-lain.


Saat itu saya belum tahu bahwa Kuntowijoyo adalah seorang sastrawan ternama. Saya tak tahu bahwa ia punya banyak karya novel maupun cerpen. Eh, ternyata banyak sekali, ada Khotbah di Atas Bukit (1976), Pasar (1994), yang sering dijadikan pembahasan di fofrum-forum sastra itu. Cerpen-cerpennya apalagi, banyak sekali.
Banyak yang bilang bahwa orang sastra akademisi (orang yang belajar sastra di kampus, di fakultas sastra) tidak bisa berkarya, bikin novel, cerpen, atau karya sastra lainnya. Dan fakta sendiri mencatat banyak sastrawaan yang lahir tidak dari fakultas sastra.  Tapi Kunto tidak masuk di dalamnya. Kunto ini lulusan Fakultas Sastra UGM. Dan sekarang, maksud saya saat buku ini terbit (saya memang akan sedikit bercerita tentang buku karyanya yang sedang saya baca), dia dosen di kampus yang sama, bersanding dengan faruk HT. yang cenderung teoritis itu.
Kuntowijoyo ini penulis produktif. Dia mengetik dengan sebelas jari (baca;kedua jari telunjuk tangan kanan dan kirinya). Itu bukan karena tidak bisa, tapi keadaan yang tidak memungkinkan. Fisiknya begitu lemah. Dia berkarya terus seperti berkejaran dengan maut. Saraf motoriknya hampir lumpuh. Dia terserang kanker otak. Tapi, hebat, ia terus berkarya.
Buku yang tengah saya baca adalah kumpulan cerpennya yang semuanya sudah pernah tersebar di media massa, baik majalah maupun koran. Tiga cerpennya, yang ada dalam kumpulan ini, memperoleh predikat “Cerpen Terbaik Kompas” tiga tahun berturut-turut. Laki-Laki yang Kawin dengan Peri tahun 1995, Pistol Perdamaian tahun 1996, dan Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan tahun 1997. Sekadar tambahan, Kompas selalu memilih cerpen-cerpen terbaik dalam satu tahun yang dimuat di halaman ssastra minggunya dan kemudian dibukukan.
Ah, dari tadi berputar-putar. Kata para pakar ini tidak baik. Yakni, membahas sebuah karya dari sisi luar karyanya, seperti profil penulis, maksud kepengarannya, penghargaan apa yang pernah dioberikan untuk karyanya itu, dan seterusnya. Itu menurut penganut new critisism. Menghadirkan biografi pengarang, akan menyeret pembaca pada sesuatu di luar sastra itu sendiri, kata mereka.
Saya hanya akan menceritakan beberapa judul cerpennya saja dan yang jelas bukan ketiga tadi. Yang lain saja lhah, yang tidak dapat penghargaan dan tidak diulas oleh pakar-pakar sastra. Tapi saya bukan kritikus. Alih-alih kritikus, membaca dan mengapresisi secara layak saja saya kesulitan. Padahal ini penting. Karena seperti kata Nukila Amal, maknailah meski hanya satu kata. Teks, tulisan, atau sebuah karya akan diam dan tak berbunyi kalau tidak dimaknai atau dibunyikan oleh pembacanya. Sesederhana apapun memaknainya, tidak jadi masalah.
Rumah yang terbakar bercerita tentang surau bordir di tengah hutan yang dibakar oleh seorang ustad. Rumah itu sejarahnya panjang. Sebuah dusun, tak disebut namanya, mempunyai dua pantangan. Kalau melanggar, danyang desa akan ngamuk. Pertama, dilarang kawin dengan orang dusun di dekatnya. Kedua, dilarang bikin surau atau tempat ibadah. Yang pertama adalah penyebab yang kedua. Sejarah muncul kedua alarangan itu adalah dimulai dari cek cok. Dusun itu kerjanya tani, sedangkan dusun sebelah pedagang. Kawin dengan orang pelit (pedagang), tak akan bahagia, prinsip orang tua dusun itu. Apa-apa dihitung. Perbedaan itu ternyata menjadikan perang. Karenanya, orang dusun itu harus berbeda dalam segala hal dengan dusun sebelahnya. Orang harus punya jati diri, begitu. Kebetulan, karena dusun sebelah adalah orang-orang santri, maka mau tidak mau orang dusun itu harus jadi abangan.
Suatu ketika Jokaryo, salah satu warga, tiba-tiba jadi santri. Ia berencana bikin surau. Tentu warga panas. Mereka yakin danyang akan marah. Umpama tiang atau tembok baru dibuat, pasti akan berpindah tempat ke sungai atau tengah hutan esok paginya. Maka, membangun suraunya terpaksa di tengah hutan. Itupun tak boleh ada mihrabnya.
Jadilah surau itu. Namun, ketika Jokaryo meninggal, tak ada penerusnya. Surau itupun suwung, tak terawatt, rusak, dan jadi tempat berteduh pencari kayu yang kelelahan.
Suatu ketika, Bu Kasno, datang sebagai penyelamat. Ia dapat wangsit dari prewangannya, syaratnya kaya harus memperbaiki rumah itu. Surau itu disulap jadi seperti bangunan baru. Tapi, fungsinya sebagai surau lenyap. Surau itu jadi rumah hiburan.
Dusun itu jadi terkenal. Setiap malam rumah di tengah hutan itu ramai sekali. Rumah itu menawarkan kebebasan dan kesenangan; judi, mendem, sekaligus servis ‘kamar’.
Ada tiga reaksi warga dusun. Yang tidak setuju Bu Kasno bilang, meninggalkan syari’at itu boleh tapi kalau sampai main itu menyalahi cara adat dan agama manapun.
Yang setuju bilang jadi orang Jawa itu harus ja dan wa. Harus apa adanya. Mendem itu enak, ya mendem. Main itu tidak dilarang dalam undang-undang. Yang dihukum itu memperkosa, lain halnya jika sama-sama suka. Yang paling tidak setuju, mereka yang dekat masjid.
Entah mengapa tiba-tiba ada masjid, padahal surau saja dilarang mbangun. Kunto mungkin terpeleset, namun masih selamat karena ia menerangkan keanehan itu.
Adalah Yulianto, ustad masjid dusun. Ia berencana membakar bekas surau itu. Saat aktivitas rumah tengah hutan itu libur selama tiga hari karena kematian suami Bu Kasno, tibalah saat itu.
Rumah itupun dibakar oleh Yulianto setelah terlebih dulu dipastikan benar-benar sepi. Ia kembali ke dusun dan paginya orang melaporkan bahwa rumah maksiat itu terbakar.
Namun, Yulianto kaget sekali. Ternyata ada orang yang turut hangus terbakar. Lelaki dan perempuan korban itu, yang kemudian segera terlacak yang perempuan adalah warga dusun, dan lelakinya dusun seberang.
Cerita lainnya adalah Jejak Nabi Nuh. Berkisah tentang seorang bernama Pak Kadir dan keluarganya. Suatu ketika mereka bertugas di Amerika. Istrinya kepincut lelaki dari Belanda bernama Johan van Straten. Pak Kadir merelakan istrinya kawin dengan lelaki ketiga. Anaknya ikut ibu.
Pak Kadir pulang sendirian dan banyak dapat cerca dari teman-temannya. Ia hanya menangkis ‘itulah hakikat demokrasi’, kau hidup di alam kebebasan, itu namanya HAM, itulah Islam.Tidak ada yang memahaminya.
Suatu ketika ia datang ke Belanda dan hampir dipertemukan dengan istri, yang sebenarnya tak pernah dinikahi oleh Johan, dan anaknya. Namun ia menolak untuk bertemu dan menjawab bahwa ia tidak sendirian. Dulu Nabi Nuh meninggalkan istri dan anaknya saat  negerinya diterjang banjir. Ia merasakan apa yang dirasakan Nabi Nuh saat itu. Ia dilahirkan seolah-seolah untuk mengikuti jejak Nabi Nuh.
Cerita lain berjudul Lurah. Pak Pe’I namanya. Suatu ketika ia muntab karena di depan rumahnya ditemukan tahi bergeletakan begitu saja. Tentu itu sebuah penghinaan, karena sudah ketiga kalinya. Ia merasa dihina, dan menghina seorang lurah berarti menghina pemerintah. Maka ia mengutus agar dibentuk panitia khusus mengusut pelaku itu melalui LMD. Cerita berjalan seru karena dibumbui saling intrik dengan LMD dan terduga pelaku, sentuhan rasa curiga, dan diakhiri dengan kesadaran Pak Pe’i setelah mendengarkan khutbah bahwa curiga itu tidak baik. Jihad melawan hawa nafsu atau diri sendiri lebih penting.
Cerita-cerita Kunto ternyata begitu sederhana, namun indah. Kesederhanaan itu selalu nampak dari alam pikiran tokoh-tokoh ceritanya yang kebanyakan adalah orang-orang desa. Orang-orang desa yang kental dengan kleniknya, seperti orang-orang desa dalam cerpen Rumah yang Terbakar tadi. Kunto begitu piawai dan lugas menghadirkan cerita realis semacam itu ternyata, dibalik profilnya yang akademisi. Hampir di semua cerpennya, unsur-unsur itu ada. Semua itu dituturkan Kunto dengan renyah dan penuh humor. Seakan-akan semua itu bukan lagi sakral dan mistis, tapi lucu. Seperti parodi. Seperti Pak Pe’i yang mengatakan bahwa pilihannya disandarkan pada jejak Nabi Nuh, bukan serta merta adalah keseriusan, melainkan kegelian.
Membaca cerpen Kuntowijoyo berbeda dengan membaca cerpen-cerpen Budi Darma, Danarto, atau Seno Gumira Ajidarma. Pembaca yang tidak mengikuti teori-teori sastra, tidak akan mengernyitkan dahi.
Kalaulah sebuah bobot dan makna dalam sebuah cerita itu tergantung pembaca, maka saya belum bisa membacanya secara serius dan mendalam. Saya belum menyelaminya, seperti misalnya, apa maksud dibalik tutur Kunto, ideologi atau kelompok seperti apa yang diunggulkan Kunto lewat Pak Syafi’i yang karena lisan Jawa keseleo menjadi pak Pe’I, dan lain-lain sebagaimana para penganut Cultural Studies.
Tapi paling tidak, bahwa sastra itu menghibur, dapat kita temui dengan membaca cerita Kunto ini.
Kampungbaru, 2013


Read More →

Páginas

 

Copyright © Sebatas Menengok | Powered by Blogger | Template by 54BLOGGER | Fixed by Free Blogger Templates