Makam Cintaku



Mohamad Tohir
senja di selat bosphorus. Foto : yellow-up-yourlife.blogspot.com
SAAT berjalan-jalan di tepi sungai, saya menemukan sebuah bungkusan plastik hitam yang isinya sebuah kado berbungkus kertas merah. Isinya sebuah buku tipis berjudul Lelaki yang Kawin dengan Dirinya Sendiri[i]. Bersama itu, ada beberapa lembar tulisan tangan yang sepertinya mirip cerita pendek. Saya kaget. Berdasar tanggal yang tertera, kalau memang itu bukan tanggal dalam fiksi, Masya Allah, bungkusan itu telah terombang-ambing di sungai selama lima tahun. Malam harinya tulisan itu segera saya ketik di warnet dan langsung saya kirimkan ke koran. Saya paksa redaktur koran yang biasa memuat cerita pendek untuk memasangnya meski itu nyata.
Kasihan perempuan itu. Saya tahu betul bagaimana rasanya orang jatuh cinta dan tak mampu menyatakannya. Perempuan itu sebenarnya datang di hari pernikahan kekasihnya, tapi dadanya bergemuruh dan sebelum sampai di tempat tujuan, ia balik badan. Mungkin ia menangis semalaman di kamarnya, lalu menulis dalam buku harian kemudian disobeknya. Kertas itu lalu dibungkusnya bersama sebuah buku yang tidak jadi ia berikan sebagai kado itu. Mungkin ia berpikir, kado itu akan membuat masalah kalau sampai. Entah cinta macam apakah yang hidup dalam dada perempuan itu.
Esoknya, atau mungkin menunggu selama lima tahun (berarti tidak sampai lima tahun terombang-ambing di air), ia buang bungkusan itu ke sungai.
Tulisan itu tak ada judulnya. Saya ingin membuatkan judul, tapi bingung juga, terlalu mikir. Saya bukan sastrawan dan lebih suka ngomong daripada berpikir. Biarlah redaktur koran yang memberinya judul. Redaktur memang paling mahir membuat judul.
Saya tertawa saat membacanya di koran dua hari setelahnya. Hahaha, Makam Cintaku, seperti puisi saja. Dan beginilah tulisan yang saya ketik itu:
Kalau Gun membaca ini, dia akan tahu, malam itu aku datang di perkawinannya. Sebuah buku dan catatan ucapan selamat telah kukemas sebagai kado. Tinggal beberapa langkah lagi kakiku menginjak rumah penuh tamu itu tapi tiba-tiba dadaku bergemuruh. Kubalikkan badan dan pulang kembali bersama gemuruh itu yang entah bagaimana maknanya.
Kucoba sebisaku untuk menguraikannya.
Aku mengenal Gun sudah lama. Kami kecil bersama. Berbagi singkong rebus, bermain gledekan, pasaran, krobongan, dan mandi di pancuran bersama. Gun anak orang terpandang di kampung dan dia mengatakan bahwa tradisi keluarga selalu mengirimkan kerabat-kerabatnya ke pesantren. Kelak dia juga menyusul yang artinya kami akan jarang atau bahkan tak lagi bertemu, katanya.
Saat itu aku belum tahu apa itu pesantren. Aku tak bertanya. Kedengarannya seperti penganten. Berarti dia akan dinikahkan, kata pikiran kanakku. Entah mengapa, aku seperti kehilangan secuil bagian dalam dadaku.
Aku tak bisa mengingat dengan utuh perjalanan hidupku. Yang kutahu aku tak punya siapa-siapa. Aku tak pernah tahu dimana ayah dan ibuku. Aku tinggal bersama nenekku yang sudah tua sekali di rumah reot di ujung kampung, jauh dari rumah-rumah penduduk. Nenekku pembuat tikar pandan. Dan kami tak pernah punya apa-apa yang berharga.
Yang kuingat, aku pergi ke kota bersama nenek, menyewa rumah kecil di sebuah gang, dan setahun kemudian nenek meninggal. Sore sebelum berangkat ke kota, Gun menemuiku. Dia bilang ayahnya melarang untuk dekat denganku. Bukan aku yang menjadi masalah, tapi nenekku. Nenekku diliputi ilmu setan, tak bisa mati kalau tidak dibunuh, dan aku bukan cucunya, kata ayahnya. Tapi, bukankah nenekku baik dan Gun seringkali makan bersama di rumah denganku dan nenek? Gun berkata besok orang-orang akan mengusir nenek. Gun menatapku. Matanya berkaca. Aku terisak dan pipiku basah. Aku sepertinya mencintai Gun, pikirku saat itu. Dan Gun mencintaiku, aku yakin itu. Tapi aku tak tahu apa itu cinta.

***
Aku menyanyi dan menari tiap malam pada sebuah bar di Bojonegoro dan saat itulah aku bertemu kembali dengan Gun.
Orang-orang menyoraki; suaraku, tarianku, dan tubuhku. Aku suka melihat para lelaki melongo tolol melihatku. Aku suka melihat mereka menjadi dungu melihat perutku. Mereka hanya pintar dan gagah ketika di seminar-seminar. Di depan perutku mereka bodoh-bodoh.
Malam itu, seorang pengunjung baru, duduk di pojok.
Seperti ada yang menyembul dalam dadaku. Seperti menemukan sesuatu yang hilang dalam diriku. Lelaki itu bermata tenang. Pandangannya seperti sebuah tembakan ke dadaku. Aku gelisah sepanjang lagu dan gerak tubuhku. Banyak yang tak puas tapi tak kupedulikan. Apakah aku mencintainya?
Kudekati lelaki di pojok itu dan kami bicara basa-basi tanpa arah. Kusebutkan namaku dan dia bilang, “Gun.”
“Gundala apa Gundul?”
Dia tertawa. Bersama kami sering nonton pertunjukan Gundala Putra Petir[ii] di sawah-sawah saat kecil dulu. Aku senang sekali. Aku tak tahu apakah dia juga senang tapi dia tertawa. Aku tahu, dia lelaki santri dan aku seorang penyanyi. Kupikir sebuah bar adalah tempat terlarang baginya. Dia bilang semua tempat di bumi ini tanah Tuhan. Dan Tuhan bukan milik orang-orang baik saja. Aku bukan orang baik?. Tapi aku sedang tak ingin membahas Tuhan. Aku hanya penyanyi. Santri dan penyanyi apa bedanya? Kami toh tertawa bersama.
Kuajak dia berjalan di trotoar sepanjang jalan menuju alun-alun. Dia tak keberatan. Di alun-alun kami duduk pada kursi di bawah pohon mahoni. Bintang-bintang tumpah ruah di langit sana. Aku seperti kembali menjadi anak-anak lagi seperti dulu. Saat itu aku sempat merasa yakin bahwa ia adalah suamiku nanti. Aku belum tahu apa itu suami saat itu. Tapi rasa itu benar-benar ada dan kurasakan kembali.
Setelah itu, malam berjalan seperti malam sebelumnya dan aku selalu bertemu Gun. Dia melihat aku disentuh-sentuh lelaki-lelaki berdasi. Dia melihat aku berciuman. Dia juga tahu aku tidur dengan mereka.
“Kau membenciku?”
“Kenapa?”
“Aku kotor.”
Dia tertawa. Aku tak suka. Iya atau tidak, bukan tertawa.
“Bukan kamu yang kotor. Tapi,.... Sudahlah!”
Dia selalu datang di bar. Melihatku menari. Lalu bercakap-cakap. Pulang. Malam lagi. Melihatku berciuman. Malam lagi. Bercakap-cakap. Jalan-jalan. Berpisah. Malam esoknya lagi. Malam esoknya lagi. Sesekali Gun juga ikut naik ke panggung dan menyanyi. Ia juga bisa meniup saksofon dan sesekali juga membaca puisi.

Meski sembilan lubang kau tutup rapat, bukalah satu lubang saja untukku
biar bisa kutempelkan lubang hidungku ini, biar kita senafas semati...[iii]

Orang-orang tertawa. Orang-orang tepuk tangan. Aku senang. Aku merasa dia bertanya padaku. Tapi, lubang apa maksudnya?
Aku bertanya apa arti puisi itu.
“Siapa bilang itu puisi? Itu kata-kata. Tak harus difahami!
Dan aku memang tak faham. Kami tertawa.
Malam itu kami menghabiskan malam berdua. Kami berjalan menyusuri bebatuan pada tepi sungai hingga tiba di batas kota dan kami menginap di sebuah losmen murah di sana.
Malam semakin malam dan kami telah berada dalam satu selimut. Aku ingat betul, masing-masing kami telah telanjang. Tapi tak ada apa-apa terjadi. Dingin memang, dan malam adalah sunyi. Aku bangkit. Duduk. Kupandangi wajahnya yang mulai mengantuk. Matanya terang kembali, menembak jantungku. Aku ingin memecah hening.
“Ini dosa bukan?”
“Kenapa tiba-tiba bicara tentang dosa?”
“Aku hanya bertaya.”
“Aku tak mau menjawabnya. Kau bertanya pada dirimu sendiri.”
“Lalu apa yang musti kutanyakan padamu?”
“Tak perlu tanya.”
“Kau sombong!”
Kami tertawa. Aku ingat betul, saat itu ia memandangi susuku tanpa kedip.
“Sebaiknya memang jangan bertanya. Sebaiknya cerita saja.”
“Ceritaku jelek-jelek.”
“Tak ada cerita jelek.”
“Bagus semua maksudmu?”
“Juga tidak.”
“Lalu?”
“Ya, cerita saja. Yang penting cerita.”
“Aku bingung. Kau saja yang cerita.’
Dan Gunpun bercerita. Dia cerita tentang lelaki yang mulutnya adalah ombak. Katanya, seingatku tentunya, ada seorang lelaki tua yang sebenarnya adalah juru agama yang harusnya menjadi panutan. Lelaki tua itu tidak. Dia suka mengnjungi pelacuran dan diskotik. Seluruh wanita di kompleks pelacuran kenal padanya. Dia juga gila minum. Tapi ia tak pernah teler. Suatu ketika orang-orang meluruknya saat lelaki tua itu sedang duduk di sebuah bar. Di mejanya berbotol-botol anggur.
“Kiai edan!”
“Wedhus!”
“Setan kuprit!”
Lelaki tua itu hanya tersenyum.
“Mendekatlah!”katanya.
Salah seorang mendekat dan lelaki tua itu membuka mulutnya. Orang-orang terheran-heran. Mereka meminta maaf. Mereka melihat mukjizat sebagaimana terjadi pada Nabi-Nabi. Mereka melihat ombak lautan di dalam mulut lelaki tua itu.[iv]
Kutuang anggur dalam gelas, kusodorkan pada Gun. Dia bangkit dan menerimanya tapi kemudian meletakkannya kembali ke meja samping ranjang. Lalu dia memandangiku. Dia melihat susuku tanpa kedip lalu mencium bibirku dan mendekapku. Tapi itu hanya dalam pikiranku saja. Sebab dia kembali berbaring dan memejamkan mata. Saat aku bangun, Gun sudah tak di sampingku.
Aku ingin menangis. Beberapa lamanya aku terheran-heran mengapa lelaki yang nampak hebat di forum-forum seminar bisa menjadi tolol dan dungu seketika di depan perempuan telanjang. Terhadap lelaki di sampingku itu aku lebih heran lagi.

***
Aku tak pernah mengerti mengapa aku dulu pergi dari kampungku sendiri. Aku tak mengerti mengapa bisa menyanyi di bar-bar dan menari dan tidur dengan para lelaki. Aku juga tak mengerti mengapa aku bisa nyungsep di pesantren. Gun yang menyarankanku ketika suatu malam kubilang aku ingin pergi dari bar.
Aku sudah tak bisa lagi merasakan nikmat tubuh yang menari dan juga nyanyianku. Orang-orang mulai bilang tubuhku seperti tak bernyawa, seperti gedebog atau mayat atau tanah liat.
Perempuan berkerudung merah itu adalah Rohana. Kami saling cerita tentang pribadi masing-masing. Ia juga mengenal Gun yang baik dan pintar dan banyak yang menyukai. Kubilang aku teman Gun, teman sejak kecil, bukan tunangannya seperti dikiranya dan teman-temannya.
Rohana salut padaku. Hidayah Tuhan turun padaku katanya.
Dia cerita banyak tentang orang-orang saleh terdahulu dari buku-buku arab yang ia baca dan terjemahkan sendiri. Ia menyukai Rabi’ah.
“Kau seperti Rabi’ah,” katanya ketika kubilang aku tak mau kawin.
Aku tak tahu apa itu Rabi’ah atau siapa itu Rabi’ah. Kupikir itu istilah lain anti kawin.[v]
Dan akhirnya dia cerita tentang perempuan bernama Rabi’ah. Perempuan Bi’ah yang suatu ketika berlari di jalan kota. Kedua tangannya memegang seember air dan obor dengan api yang menjilat-jilat.
“Mau kemana kau perempuan Bi’ah?” Orang-orang bertanya.
”Aku hendak ke langit. Ingin kubakar surga dan kupadamkan neraka agar keduanya tak menjadi alasan orang untuk mendekat pada Tuhan.”
Perempuan Bi’ah tak kawin. Ia hanya mencintai Tuhan saja. Kekasihnya hanyalah Tuhan. Suatu kali pernah ia ditanya apakah ia mencintai Rasul. Perempuan Bi’ah bilang bahwa cintanya pada Tuhan telah menutup celah hatinya untuk mencintai yang lain[vi].
Suatu kali Gun mengatakan padaku ingin mengawiniku. Dia bilang dia mencintaiku. Kubilang aku hanya mencintai Tuhan. Dan apa hubungannya cinta dengan kawin? Dan kubilang juga aku tak akan kawin.
“Kawinlah. Imanmu akan sempurna!” Rohana menasihatiku. Aku tak memahami kata-kata itu.
Dan entahlah, pada akhirnya, Rohana kawin dengan Gun.
Malam itu aku datang ke perkawinannya. Saat perkawinan orang terdekat terjadi, alam seperti jeda. Dalam jeda itu, gambaran selama hidup yang telah dilalui seakan terbentang dan bergemuruh dalam kepala dan dada. Tapi orang-orang itu hanya aku saja, mungkin.
Sebuah buku dan catatan ucapan selamat telah kukemas sebagai kado. Tinggal beberapa langkah lagi kakiku menginjak rumah penuh tamu itu tapi tiba-tiba dadaku bergemuruh. Kubalikkan badan dan pulang kembali bersama gemuruh itu yang entah bagaimana maknanya.
 (2 September 2007)

Kasihan perempuan itu. Dia meratap. Dia kesulitan menyatakan cinta. Sebenarnya dia mencintai Gun, lelaki yang ingin mengawininya yang juga berputar-putar itu. Tapi entahlah. Tapi memang, saat orang membolehkan cinta sejati muncul, hal-hal yang tadinya teratur menjadi berantakan dan menjungkirbalikkan semua yang tadinya kita kira benar dan betul[vii].
Ingin saya minta istri saya membaca cerpen temuan itu, sedikit pamer nama suaminya masuk koran. Dia pasti akan menertawakannya. Tapi dia tak pernah mau baca koran. Atau dia tak akan percaya saya menulis cerita meski itu benar. Lagipula dia seperti anti pada cerita-cerita tentang cinta. Cerita cinta selalu berujung pada perkawinan, saling memiliki, punya anak, punya cucu, sampai mati. Tak ada yang perlu diceritakan dan dikatakan dalam cinta, katanya suatu ketika saat saya bertanya apakah dia mencintai saya.
Kami kawin begitu saja dan nyatanya tiga bulan lagi kami punya anak. Kami juga sarapan bersama sambil cerita basa-basi setiap pagi, bercinta dengan rutin sebulan sebelas kali, pergi liburan, salat jamaah, belanja bersama, seperti orang-orang pada umumnya dan kami tak pernah bilang saling mencintai. Tak diucapkan dan dinyatakanpun, cinta tetap berbunyi, kata istri saya. Aku tak faham artinya. Dan kami memang kawin tapi perempuan itu tidak. Bagiku itu mungkin biasa tapi bagi perempuan itu mungkin menyakitkan. Ah, tidak. Bukankah dia bilang ingin tak kawin seperti sufi perempuan itu? Tapi sekarang saya ngantuk sekali. Hoooaggh!
“Kenapa kita bisa kawin?”
Baru saja terlintas dalam pikiran pertanyaan itu, istri saya sudah lebih dulu bertanya.
“Kenapa kau tanya begitu? “
“Aku bertanya.”
“Saya tak tahu.”
Saya memang tak pernah tahu. Saat belum kawin dulu, saya selalu melamun ketika menghadiri undangan teman yang kawin. Saya melamun sepanjang waktu saat pengantin duduk di pelaminan. Apakah saya akan kawin juga dan bukankah kawin adalah hal biasa seperi makan, tidur dan kencing?
 “Tapi benar. Sebaiknya jangan bertanya. Sebaiknya cerita saja,” kata istri saya.
Saya kaget betul. Saya tak lagi mengantuk.

                   September  2013

Untuk kawanku Suudin Azyz.
Salam Cinta Tanpa Tanda di Kawinmu hari ini.




[i]   Sebuah judul cerita pendek berbahasa Inggris (The Man Who Marrie Himself karya Charlie Fish) yang diminta oleh teman untuk menerjemahkannya. Karena tak sanggup, saya jadikan itu sebagai ide kecil cerita ini.
[ii]  Sebuah lakon drama dan tokoh film layar lebar yang tenar di 90-an. Gundala adalah satu-satunya superhero andalan Indonesia.
[iii] Petikan dari judul Asmarabi’ah, karya Fathoe R. Jacobs
[iv] Berdasar cerita lisan tentang seorang kiai kharismatik yang konon min jumlati auliya, KH. Hamim Djazuli alias Gus Mik.
[v]  Bahasa Jawa kasar menyebut kawin dengan kata rabi. Ah adalah kata ungkapan untuk sebuah penolakan dan penyepelean.
[vi] Rabiah Al-Adawiyah, sufi perempuan, terkenal dengan madzhab cinta dalam percaturan tasawuf. Keberadaannya masih rancu secara historis, meski sebagai ide dipercaya dan diikuti.
[vii] Kata Dante dalam Divine Comedy. Dikutip penulis legendaris Brazil, Paulo Coelho, dalam novelnya, The Zahir.

Posting Komentar

Páginas

 

Copyright © Sebatas Menengok | Powered by Blogger | Template by 54BLOGGER | Fixed by Free Blogger Templates