Mohamad Tohir
foto : dannial a./ sindikatbaca |
SUATU KALI, aku menulis cerita pendek di sebuah koran sebagai
hadiah untuk seorang kawan yang menikah. Cerita pendek buruk itu ternyata
sempat sedikit menjadi perbincangan teman-temanku. Beberapa mempertanyakan
alasan, motif, dan beberapa hal yang ambigu dalam teks cerita itu. Aku membuat
catatan ala kadarnya untuk menjawab semua itu, di lembar facebook, meskipun aku
yakin tidak bisa menjawab sepenuhnya. Berikut aku tampilkan lagi di blog ini :
Hemh, terimakasih untuk
pertanyaan, masukan dan tegurannya, Tuan Ashree Kacung. Sebenarnya saya sungkan
dan malu untuk menjawab pertanyaan semisal apa yang diutarakan oleh Om Danial
Arifudin, sebab sejenak setelah Makam Cintaku selesai saya tulis, saat
itu saya berikan semuanya pada pembaca. Saya tak sadar saya telah
‘engkek’(meminjam istilah Tuan Ashree kacung) ternyata, sebagaimana banyak
ketidaksadaran yang turut serta dan tercecer dalam cerpen itu. Ketidaksadaran
itu saya yakin banyak sekali, sebagaimana yang dicatat oleh Om Danial tersebut,
karena pada mulanya saya maksudkan dengan makam ialah bermakna tempat. Maka
saya semakin sungkan untuk menyahut ketika tahu ada makna dan lapisan lain yang
ditangkap dan dipertanyakan oleh Danial yang pada saya tak terlintas
sebelumnya.
Saya terima apa yang
Tuan Ashree Kacung bilang bahwa saya sok bilang bahwa author is dead, setidaknya tidak mati sepenuhnya dan selamanya.
Karena dengan matinya saya sebagai author, maka itu membuka ruang buatmu Tuan
Ashree Kacung dan yang lainnya untuk berkesempatan menjadi author, lalu author
yang pertama hidup kembali untuk kemudian mati kembali dan kemudian hidup lagi
dan seterusnya dan seterusnya…
Mengenai apa yang Tuan
Kacung sebut tanggung jawab sosial dalam mencipta cerpen itu adalah apa yang
selalu menjadi pertanyaan setiap kali saya hendak menulis. Selalu saja saya
tanyakan ketika sebuah judul cerpen hendak saya tulis, apakah nantinya berguna
atukah tidak. Tanya itu kebanyakan selalu berujung pada kegagalan saya untuk
menulis, mandek begitu saja. Pada akhirnya saya harus memaksakan diri untuk
yakin bahwa segala yang maujud di hamparan kehidupan ini ada gunanya, tak
terkecuali ketidakbergunaan sendiri. Perang, makan, kehadiran, tai, buku harian,
kitab kuning, salat, upil, dangdut, bungkus sabun, kebodohan, pemberontakan,
dosa, kontol, jam weker, uleg-uleg, orang gila, papan nama, gigi yang kuning,
surban kiai, dan seterusnya.
Saya tidak ingin cerita
tentang atau menjelaskan tentang tubuh Makam Cintaku, sebab saya agak yakin
yang membacanya bisa jadi lebih paham dan menikmati dan mengerti ketimbang
saya. Entahlah, saya tidak suka sekali memaksa diri untuk cerita tentang
tokoh-tokoh atau detail lain dalam cerita saya, juga Makam Cintaku. Saya
lumayan sepakat dengan mereka yang bilang bahwa jika sebuah buku atau cerpen
atau apalah tak dapat menjelaskan dirinya sendiri, maka bolehlah dibilang buku
atau cerpen itu tidak berguna. Tentu saja, dengan ocehan saya yang seolah-olah
menjelaskan cerita saya sendiri seperti nabi yang sedang bersabda adalah
laiknya pelacur yang menjajakan diri, akan dengan sendirinya turut menyumbang
ketidakbergunaan Makam Cintaku. Kalau memang Makam Cintaku tidak berguna, maka
biarlah ia tidak berguna dengan sendirinya.
Mungkin yang menjadi
porsi seorang pengarang, dalam hal ini tentu saja adalah saya, adalah bercerita
tentang apa yang disebut oleh Pamusuk Erneste sebagai proses kreatif.
Makam Cintaku adalah
sebuah persembahan untuk kawanku Suudin Azyz. Saya banyak main comot sana-sini
dalam membuatnya. Karena faktor ini pulalah sebenarnya saya kurang begitu
percaya bahwa itu adalah sepenuhnya karya saya. Pembaca juga turut berkarya di
sana. Pada Ashree Kacung yang pernah suatu ketika menyodorkan cerpen The Man
Who Marriade Himself, Fathoerachman Jacobs dengan ceritanya tentang Rabi’ah,
mereka yang cerita pada saya tentang karomah Al-Allamah Gus Mik, dan seterusnya
dan seterusnya.
Makam Cintaku, jujur,
sebenarnya akhir-akhir ini saya sering dikelilingi oleh cerita-cerita cinta
dari orang terdekat saya. Mereka yang terlibat perselingkuhan yang nampaknya
mustahil tapi nyata, kekejaman perempuan, perceraian, aborsi, seorang ayah yang
mencintai remaja SMA, seorang ibu yang telah punya dua anak dewasa yang katanya
tidak pernah merasa bahagia bersama suaminya, perempuan yang menuntut untuk
dikawin karena telah diencuk oleh lelaki yang dikira adalah jodohnya. Mereka
yang kucing-kucingan dalam bercinta, mereka yang terobsesi dengan pacaran,
mereka yang menguji cinta dengan merelakan orang yang dicintainya dicintai dan
mencintai teman dekatnya, mereka yang menguji Tuhan tentang ketetapanNya pada
jodoh, mereka yang menikah tanpa cinta karena bosan pada pengertian
konvensional bahwa cinta berarti pacaran kawin bersebadan beranak cucu hingga
mati, mereka yang selalu mempertanyakan cinta yang bersemayam dalam dadanya
adalah cinta yang bagaimana dan pada makam apa, dan saya yang berada di antara
semuanya itu. Saat masih duduk di bangku sekolah dulu, saya pernah mencintai
perempuan yang memang dekat dengan saya. Saya tak bisa menjelaskan bagaimana
cinta yang saya rasakan itu, sebab seperti yang Bung Danial bilang, mengutip
al-Ghazali, bahwa soal rasa itu ya perasa yang tahu. Tapi gila betul, saya
menemukan banyak hal baru dalam hidup saya selama saya mengijinkan cinta itu
bersemayam dalam diri saya. Hal-hal yang dulunya tabu menjadi biasa dan bahkan
indah. Pada masa-masa itulah saya seperti ketiban durian runtuh, ketiban
bacaan-bacaan dari kelompok-kelompok yang dulunya tidak saya suka. Juga pada
masa itulah saya pertamakali berani menulis dan membuat cerpen (ada di buku
harian saya yang pertama, 2007). Hingga ketika perempuan itu mencintai dan
dicintai lelaki yang adalah teman dekat saya sendiri saya juga membiarkannya
terjadi.
Akhir-akhir ini saya
sering menghadiri teman-teman dekat saya yang kawin, teman MI hingga teman yang
belum lama saya kenal. Saya pasti kepikiran ketika menghadiri undangan mereka,
dan ingatan-ingatan tentang cinta seperti tumpah ruah dalam tempurung kepala
dan mangkuk dalam dada, sembari mempertanyakan makam cintaku.
Saya memang belum
memahami sepenuhnya tentang cinta, kalau cinta memang untuk dipahami. Tema
cinta sendiripun terlalu abstrak untuk digarap meskipun dari jaman jahiliah
tema itu terus dibicarakan hingga kini. Maka, semua yang membaca dapat dengan
mudah menangkap kebelumpahaman saya itu kendati ada banyak nomor yang masuk ke
nomor ponsel saya dan menyatakan bahwa meraka merasa ikut senang.
Akhirnya, saya tetap
harus mohon maaf kepada semua pihak yang bersinggungan dengan cerpen garapan
saya itu, sesepele dan setidakberguna apapun itu… Lapis demi lapis dalam dalam
diri telah saya coba lalui sebisa saya guna merampungkan cerpen saya itu.
Meskipun kalau ditanya mengapa menulis cerpen, saya belum bisa menjawabnya.
Hanya saja, satu hal yang selalu saya lakukan dalam menulis cerpen adalah
mencoba meniadakan diri sendiri. Saya tak tahu istilah apa yang tepat. Oleh
karena itu saya selalu sebisa mungkin membuat tokoh-tokoh seperti misalnya
perempuan, padahal saya adalah laki-laki. Saya masih takut dan sungkan untuk bilang
bahwa cerpen-cerpen saya telah berguna dan bermanfaat secara sosial.
Yang pasti saya agak
muak dengan cerita yang seolah-olah bercerita tentang diri sendiri, tokoh dalam
cerita adalah dirinya sendiri. Kalaupun toh memaksa suka, agar kemuakan itu mereda,
saya anggap saja karya yang bercerita tentang dirinya sendiri itu sebagai bukan
cerpen melainkan entah apa. (Cerpen-cerpen saya ternyata kebanyakan masih
demikian. Maka saya juga muak dengan cerita buatan sendiri).
Demikian sementara
laporan kecil saya. Nampak bodoh dan tolol sekali rupanya, namun tak apa.
Semoga kita termasuk dalam golongan umat yang terberkati.
Adapun
cerita pendek itu, kumuat juga di Sebatas Menengok ini. Lihat Arsip Bulan Oktober 2013 : http://mohamadtohir.blogspot.com/2013_10_01_archive.html. Selamat membaca!
Posting Komentar