bancaan buku

BANCAAN BUKU
Mohamad Tohir

SESEORANG BERTANYA PADA SAYA, bagaimana dan apa sih gunanya bedah buku? Pasalnya saya sempat sedikit berkoar-koar seperti kampanye parpol bahwa buku adalah barang berharga yang harus dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh siapapun. Orang tak suka buku berarti orang goblok. Kira-kira begitu saya sering berkoar.
foto : Toh
Yang bertanya itu adalah seorang pengelola perpustakaan milik seorang pengusaha PT.Gudang Garam tbk. Bojonegoro. Sebagai warga Jenogoro, saya menyambut dengan suka cita usaha yang kontribusinya besar untuk menciptakan masyarakat literasi itu. Tak bermaksud menyudutkan pihak tertentu, usaha itu sungguh  amat langka bagi orang-orang setingkat Bojonegoro.
Terus terang saya kelabakan mendapat pertanyaan itu. Terlepas dari apakah pertanyaan itu sungguhan dari orang yang benar-benar ingin tahu atau entah pertanyaan nge-tes, sejak itu saya tersadar bahwa selama ini saya belum memiliki dasar pemikiran yang kokoh dalam kerja (bedah buku)yang saya gembar-gemborkan penting itu. Hingga beberapa lamanya, saya belum menemukan format jawaban yang pas dan memuaskan untuk ukuran saya sendiri. Hingga saya mencatat inipun, saya belum juga yakin.
Bersamaan dengan saya mendapat pertanyaan itu, saya meminjam darinya, si penanya itu, tiga buah buku yang masing-masing; Di Mana Cinta Ada, Di situ Tuhan ada karya Leo Tolstoy, pengarang besar Rusia; Dodolitdodolitdodolibret, kumpulan cerpen pilihan kompas 2010; dan 1000 wajah Pram dalam kata dan sketsa, sebuah kumpulan tulisan untuk mengenang 1000 hari wafatnya sastrawan besar  kelahiran Blora yang beberapa kali masuk nominasi peraih nobel sastra itu.
Ada keganjilan saat membaca “Dodolitdodolitdodolibret”, cerpen yang menjadi pemenang kumpulan cerpen terbaik Kompas dalam setahun itu. Cerpen yang ditulis oleh Seno Gumira Ajidharma itu mengisahkan tentang ahli agama yang merasa bahwa praktik beragamanya sudah benar dan merasa terbebani untuk mengentas masyarakatnya dari kesesatan beribadah. Guru Kipik, nama ahli agama itu. Hingga ketika Guru Kiplik dipertemukan dengan pertapa di sebuah pulau yang menurut Kiplik masih salah dalam berdoa dan harus diajari agar benar. Ketika pengajaran dianggap selesai dan tuntas, saat perjalanan pulang di tengah lautan, di atas kapal Guru Kiplik melihat titik hitam yang makin mendekat cepat menuju kapal. Setelah dekat disadarinya bahwa titik hitam itu adalah salah satu dari tiga pertapa tadi yang bertanya kembali tentang doa yang benar karena lupa. Guru Kiplik tercengang, ragu akan dirinya sendiri dan cara doa yang dianggapnya telah benar itu.
Pesannya bagus, yaitu tentang praktik keagamaan dimana ada kelompok-kelompok tertentu yang merasa benar dan dengan sendirinya merasa berkewajiban untuk membimbing umat yang tidak disadarinya bisa jadi mereka lebih baik dan benar. Pada akhirnya, yang benar adalah mereka yang tidak pernah merasa bahwa dirinya benar dan sempurna.
Keganjilan itu muncul ketika saya membaca Tiga Pendeta dalam kumpulan cerita Tolstoy. Cerpen Tolstoy itu mirip sama sekali. Yang ada adalah penggantian nama dan tempat saja. Tentu asumsi saya adalah telah terjadi plagiat. Siapa yang plagiat? Tentu saja Seno, yang notabene belum berujud apa-apa saat leo Tolstoy mulai menulis cerita itu(Tolstoy lahir tahun 1828).
Memang, pada catatan di akhir ceritanya, Seno mengatakan bahwa Dodolit adalah cerita ulang (katanya :cerita ini hanyalah versi penulis atas berbagai cerita serupa, dengan latar belakang berbagai agama di muka bumi), yang berarti tak bisa dikatakan plagiat, namun yang jadi pertanyaan adalah mengapa cerita itu menjadi juara? Apakah memang orang-orang Kompas yang kredibelitasnya tak diragukan lagi itu sudah memasuki masa monopause. Rasanya hal ini bisa dibenarkan ketika mengingat bahwa di awal 2011 kekonyolan itu terjadi lagi. Kompas memuat cerpen dadang Ali Murtopo berjudul “Perempuan Tua dalam Rashomon ". Selain cerpen tersebut sudah pernah dimuat di Lampung Post, pada 5 Desember 2010, kenapa  bisa lolos dan dimuat di Kompas Minggu, 30 Januari 2011. Parahnya cerpen itu sudah ramai dibicarakan bahwa itu Plagiat atas Rashomonnya Akutagawa Ryunosuke, penulis kebangsaan Jepang.

Bedah Buku
JUJUR SAJA, SAYA RASA TAK PERLU ADA DEFINISI RUMIT tentang kata itu. Saya ingin bilang bahwa membaca buku adalah bedah buku. Bagaimana tidak, dari mulai kita membukanya, membaca, merenungkan, mengkritisi, megembangkan, atau bahkan menerapkannya, semua itu tak bisa dibilang membedah. Lebih-lebih bila tergerak untuk menulis.
Seperti apa yang dikatakan Ahmad Taufik dalam sebuah eseinya, membaca adalah sebuah proses dialektika intelektual. Proses mengolah tesis(kebenaran awal), kemudian muncul antithesis(uji kebenaran tesis), dan kamudian muncul sintesis(hasil pergulatan/ uji itu) terjadi saat kita membaca buku. Atmosfir seperti inilah yang menciptakan keemasan peradaban di masa Yunani kuno dan romawi saat itu. Dalam sejarah Islam pun apa yang disebut-sebut dengan The Glory Of Islam, atmosfir pembacaan dan melahirkan karya-karya baru amat menggema saat itu.
Di buku satunya, 1000 wajah Pram dalam kata dan sketsa saya mendapat gambaran lagi tentang persoalan ini. Kita tak perlu heran mengapa minat baca masyarakat kita rendah dan memprihatinkan bila mengingat masa 30 tahun kita dalam kekuasaan Prabu Soeharto.
Pagebluk 1965, begitu Zen rahmat Soegito mengistilahkan(dalam tulisannya Memperingati Hari Kliping Nasional) ditandai dengan disapuratakannya ingatan sejarah kita. Buku-buku Pram yang berbicara tentang semangat sejarah bayi bernama Indonesia dilarang terbit bahkan ada sebagian(banyak)dimusnahkan/ dibakar. Budaya bar-bar inilah yang menciptakan aura ketakutan yang parah pada mental anak bangsa kita selama seperempat abad lebih itu. Selama masa itu, banyak buku-buku yang dilarang terbit dan beredar. Mungkin benar, teman saya pernah berceletuk : “pemimpin Indonesia itu semua suka baca, yang tidak hanya Soharto.”Gerakan cinta buku yang baru menampakkan geregatnya setelah tumbangnya sang Jenderal itu belumlah cukup menghapus 30 tahun lebih masyarakat kita menganggap aneh pada buku.
Kembali ke bedah buku. Pada dasarnya segala ide, pelajaran, gagasan yang kita dapat dari sebuah buku akan mengiring kita untuk memikirkannya atau bahkan bergerak nyata. Nah, amat disayangkan ketika mulai banyak buku diterbitkan dan dikumpulkan, ternyata itu didiamkan saja. Semestinya barang berharga itu dibuat bancaan. Sebagaimana bancaan, akan terasa bedanya antara satu nampan untuk bersama dengan masing-masing pakai piring. Meski menunya sama, jauh lebih nikmat yang pertama bukan? Bedah buku seperti itulah yang saya maksud itu.
Penjelasan umumnya begini; ambillah satu judul buku. Saya sebutkan di atas adalah cerpen Seno Dodolitdodolitdodolibret. Saya baca buku itu bersama beberapa orang lain. Kemudian semua ngumpul dan membahas isi buku tersebut. Dari sekian yang ada, dapat dipastikan memiliki interpretasi yang beragam sesuai bagaimana memahami dan dari sudut pandang manakah berangkatnya. Ada yang menyoroti tema umumnya, ada yang menyoroti perjalanan penulisnya, ada yang menyorotinya dari segi sastra dan bahasanya, ada pula yang seperti saya; lebih pada pantas tidaknya cerpen itu dianggap sebagai cerpen terbaik kompas 2010 setelah saya dapati temuan itu.
Semua itu adalah cerita saya. Bagaimana cerita Anda?

Pesantren Buku, 21 November 2011

Read More →

Páginas

 

Copyright © Sebatas Menengok | Powered by Blogger | Template by 54BLOGGER | Fixed by Free Blogger Templates