mohamad tohir
EMPAT
pendatang baru Rumah Baca!, mereka adalah mahasiswa ekonomi yang lucu-lucu.
Mereka datang tak diundang dan tinggal di Rumah Baca! Saya belum sempat
bertanya apa yang menjadikan mereka bisa ‘tidur’ di Rumah Baca! Yang jelas,
saya tak rela kalau Rumah Baca! dalam otak mereka adalah sebuah penginapan.
(Pertamakali saya
menginjakkan kaki di rumah baca!, saya kaget sekali. Saat itu saya merasa
buku-buku saya yang sudah sekardus itu banyak sekali. Saya kaget bukan main
melihat ada orang yang buku-bukunya jauh lebih banyak ketimbang saya. Dan
buku-buku itu, Ya Tuhan, mantab-mantab!)
Saya memang belum pernah
bicara intensif kepada mereka mengenai Rumah Baca! Saya agak kikuk untuk menjadi
seorang yang seperti paling mengerti. Saya malas untuk sok tahu dan sok
menuntut ini-itu kepada mereka. Biarlah nantinya bagaimana. Di sisi lain,
beberapa program Sindikat Baca di Rumah Baca! tidak berjalan optimal.
Salah satu dari empat
pendatang itu saya sudah mengenal sebelumnya. Hanya kepada dialah sebenarnya
saya menawarkan untuk tinggal. Dua tahun yang lalu, saya ingat, dia datang
malu-malu, membawa naskah novel kepada kami. Dia berkonsultasi apakah novelnya
layak untuk diterbitkan. Tentu saja, saya tidak punya kapasitas untuk
menentukan layak dan tidaknya. Di sisi lain, kami juga tidak bisa menerbitkan
begitu saja. Kami bukan seratus persen penerbit. Penerbitan yang kami maksud
ternyata kecil dan masih malu-malu. Kami menerbitkan sebatas dua sampai lima
eksemplar buku dan itu harus memakai kocek penulisnya. Kami hanya ingin bilang,
siapa saja bisa mencetak dan menerbitkan buku dengan mudah di jaman ini.
Begitu.
Lelaki muda itu, saya juga masih
muda lho!, bernama Fatoni. Dia asli Singgahan-Tuban. Dia
adik ipar teman saya
saat sekolah dulu, Ultramen namanya. Fatoni ini, bersama seorang lagi temannya,
mendirikan sebuah komunitas sastra kecil di desanya, Sanggar Waskita namanya.
Mereka bikin diskusi kecil-kecilan, mencetak buletin kecil-kecilan dengan uang
pribadi kemudian disebar dan dijual, membuat puisi, menulis novel dan dicetak
sendiri, dan seterusnya.
Saya merasa bersalah
sebenarnya jika semangat itu tidak bisa dijaga dan dikembangkan. Terkadang saya
merasa bahwa saya punya tanggung jawab untuk itu. Tapi terkadang saya merasa
diri saya ini siapa dan apa?
Kepada para pendatang baru
Rumah Baca! itu, saya merekomendasikan beberapa bacaan ringan pada mereka. Pasalnya,
nampak benar bahwa kebanyakan mereka tak begitu punya ‘blink’ membaca buku.
Saya jadi risih melihat mereka main kartu di Rumah Baca! sementara tak menunjukkan interestnya pada buku yang
berderet-deret di rak. Saya juga yakin, mereka tak mempunyai buku. Tidak
mempunyai tidak masalah jika interest itu ada. Saya tak bisa berpikir sehat,
bahwa mereka tiap hari di Rumah Baca namun tidak punya minat membaca buku. Saya
minta mereka untuk menceritakan buku yang akan dibacanya itu seminggu kemudian.
Salah satu dari mereka saya
pinjami The Alcemist-nya Paulo
Coelho (Brazil). Buku itu milik Danial Aripudin sebenarnya, tapi telah jadi milik saya
setelah saya tukar dengan Manyura-nya
Yanusa Nugroho.
Kepada dia, saya bilang
bahwa novel karya penulis Brazil tersebut menjadi bacaan wajib mahasiswa
ekonomi di salah satu universitas di Brunei Darussalam. Saya membacanya dari sebuah esai di koran tapi
saya lupa siapa yang menulisnya dan kapan.
Kepada yang lain saya
pinjami dia Pak Tua yang Membaca Kisah
Cinta. Buku itu kecil dan tipis tapi punya bobot. Pembaca akan merasa
diajak menelusuri tengah hutan dalam perburuan mencari harimau kumbang yang
sedang marah. Novel itu ditulis oleh Luis Sepulveda, pengarang kebangsaan
Chile, yang berkisah tentang lelaki tua yang berhadapan dengan segerombol oknum
pemerintah yang ingin merusak ekosistem di kawasan lindung Arizona.
Yang lain lagi, saya pinjami
Kaas kaya Willem Elsschot (Belanda). Kaas adalah
Keju, sebuah novel pendek tentang seorang kerani yang bergaji pas-pasan yang
tiba-tiba mendapat tawaran menjadi seorang distributor besar keju mewakili dua
negara, Belgia dan Belanda. Tanpa pengalaman menjadi seorang pengusaha mandiri,
dia kelimpungan dan kembali mempertanyakan makna pekerjaan dan eksistensi diri. Novel ini begitu menggemaskan setiap detailnya. Karakter tokohnya dibangun dengan apik dan kuat oleh Elsschot.
Tiga itu saja. Saya juga
berjanji pada mereka untuk menceritakan buku yang sekarang tengah saya baca, Norwegian Wood, sebuah novel karya
Haruki Murakami, sastrawan Jepang yang sejak 2008 lalu menjadi kandidat peraih
Nobel Prize sastra tapi belum kesampaian hingga saat ini.
Ups, kopi saya datang!
Bojonegoro, 07 Januari 2014
Posting Komentar