Kampungbaru, 15 maret 2013
Dan,
Sedang apa kau saat surat ini sampai
depan rumahmu, diantarkan oleh Pak Pos dengan kuda sembraninya. Ha ha ha…
Seperti dalam cerpen Agus Noor itu (Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia,
2010). Tapi surat ini tak akan sampai kepadamu lewat pos. Lagipula, apa arti
sebuah surat bagimu, Dan. Kulihat setiap waktumu amat akrab dengan BBM. Surat,
bagimu, mungkin akan mengembalikanmu ke limapuluh atau seratus tahun ke
belakang.
Dan,
Tiga hari yang lalu, aku bersama
seorang kawan berencana mengunjungi seorang sastrawan Jawa di Padangan. Ia,
sastrawan itu, adalah orang Bojonegoro. Kita, yang juga orang Bojonegoro,
jarang mengenalnya ternyata. Dan memang, setiap kali dalam perbincangan, kita
lebih sering menyebut nama-nama seperti Afrizal, Seno. Yanusa, Saut, GM,
Sindhunata, dan lain-lain. Padahal, di luar sana, ia cukup dikenal. JFX. Hoery,
nama sastrawan itu, beberapa kali memenangi anugerah Sastra Rancage, sebuah
penghargaan bergengsi bagi mereka yang gigih bersastra dengan bahasa daerah.
Rancage ini berada dalam naungan yang didirikan oleh sastrawan kawakan ternama,
Ajib Rosidi. Tahun 2013 ini, kudengar ia menerima anugerah Rancage lagi.
Tapi sayang, Dan. Rencana itu musti
tertunda. Mbah Hoery, sapaannya, sedang sibuk. Beberapa hari ini ia menjadi
Panitia Paskah dan harus mondar mandir mengurusi tetek mbengek Gereja. Padahal,
ia sudah tua. Usianya sudah kepala enam. Tapi, sungguh, ia masih trengginas.
Aku ingin memaksa bertemu sebenarnya.
Toh, kami tidak cukup lama nantinya. Hanya mengajukan beberapa pertanyaan yang
sudah kami list. Tapi segala sesuatu yang dipaksakan, seperti perkosaan, pasti
kurang maksimal. Ibarat secangkir kopi belum habis, obrolan sudah terhenti.
Nggunjel rasanya. Lagipula, bukan hanya untuk wawancara saja sebenarnya maksud
kami. Baiklah, Mbah Hoery, lain kali saja. Tak pa.
Padahal, Dan, dalam kepalaku, sudah
berkecamuk banyak bahan yang ingin aku obrolkan dengan Mbah Hoery. Tentu saja
tentang segala sesuatu tentang Jawa. Aku yakin, Mbah Hoery banyak menyimpan
informasi dan pengalaman tentang Jawa; bahasanya, pandangan hidup, sejarah,
hingga mistisisme yang melingkupinya. Aku banyak mendengar obrolannya tentang
Jawa lewat radio. Ia banyak menyebut referensi Kitab Pararaton.
Jawa, Dan, kata seorang temanku, bila
kita ingin tahu banyak tentangnya, kurang afdal kalau tidak mengutak-utik
sumber dari Belanda. Kata temanku itu, kita beruntung dijajah Belanda, bangsa
yang terkenal bagus di bidang arsip dan administrasinya. Segala yang terjadi di
masa lampau, saat mereka berkuasa maupun masa yang lebih lampau lagi,
diarsipkan secara rapi oleh mereka. Jadi, bukan hanya kerakusan akan subur dan
kaya bumi kita saja yang menarik perhatian Belanda sebenarnya. Tapi juga
kisah-kisah masa lampaunya. Mereka mempelajari dan memahami kita lewat
kitab-kitab dan referensi kuno tentang kerajaan-kerajaan besar kita dan watak
orang-orangnya. Lalu dengan mudah bisa melemahkan dan menguasai kita.
Tahun lalu, aku mencoba mencari tahu
tentang sejarah kampungku. Dan aku merasakan betul, betapa sulitnya menemui
sumber-sumber yang tahu detail tentang kampungku. Seorang mantan carik, yang
sekarang sudah tua sekali, juga mengeluh tentang itu. Pasalnya, di tahun 60-an,
ia mendapat tugas untuk mencari tahu tentang masa lampau kampung kami. Dan
sama, terbentur bahwa tidak ada arsip tertulis yang bisa dipercaya.
Cerita-cerita lisan yang ada, terkendala usia sang pencerita. Banyak cerita
yang ikut lenyap seiring berhentinya usia yang punya cerita itu. Apakah
bertanya tentang Jawa saja harus ke Belanda, Dan? Repot amat. Menurutku kita ke
Mbah Hoery dulu lah. Dan tentu saja bukan hanya tentang sejarah saja yang dapat
kita gali.
Jawa, Dan, kata soerang temanku yang
lain, (ia engutip seorang pendeta) bukanlah yang kita pahami hanya sekadar wilayah
atau titik teritorial belaka. Melainkan pandangan hidup, ideology, faham,
kepercayaan, dan budaya.
Aku jadi teringat saat kecil dulu, guru
IPSku pernah mengatakan bahwa bila sebuah rudal atau bom dijatuhkan di Jawa, ia
tidak serta merta meledak. Tapi, bisa jadi malah tumbuh seperti menyok. Kesannya superior ya?
Pendeta Dorna, lewat lakon yang
dibawakan oleh Dalang Edan Sujiwo Tejo beberapa bulan lalu di kotaku,
mengatakan bahwa Jawa itu sebenarnya wadah yang kosong. Jawa bisa menerima apa
saja segala yang bukan jawa. Tapi bukan lantas dimakan mentah-mentah dan habis
begitu saja. Bukan jawa itu diproses, digodog, dikeluarkan lagi dengan wujud
dan bungkus berbeda. Seperti rudal tadi Dan, ia jatuh ke Jawa bukannya harus
meledak, melainkan harus diolah oleh orang Jawa menjadi geguritan atau cerita
cekak. Ha ha ha…!
Apa kau suka wayang, Dan? Jawa tanpa
wayang itu bulshet, kata para pakar
budaya. Dan wayang dicerna dan kita dapati sekarang ini, bukanlah wayang
seperti pada bentuknya semula dimana ia lahir, India. Wayang di Jawa sudah di
rombak. Wayang di Jawa tak lagi sacral seperti di India. Arjuna dalam kacamata
India adalah sosok pria yang nyaris tanpa cela. Ia ganteng, gagah, sakti
mandraguna, pintar, dan digandrungi banyak perempuan. Tapi di Jawa, ia ditekling
sebagai lelaki mata keranjang dan doyan kawin.
Sekarang aku sedang membaca sebuah buku
wayang. Seorang teman yang baik hati meminjamkannya padaku. BUku itu seperti
judul karya Mpu Tantular, Arjuna Wiwaha. Pikirku juga demikian awalnya. Arjuna
Wiwaha ini berkisah tentang Arjuna Sasrabahu, titisan Wisnu sebelum Ramawijaya.
Konon, sebagian digdaya dan kesaktian Rahwana atau Dasamuka, berasal dari
Arjuna Sasrabahu ini, yang mati di tangnnya.
Tapi, Dan. Aku kesal sekali, ini bukan
Arjuna Wiwaha. Aku kaget sekali dan baru mengetahuinya setelah tiga hari buku
itu ada di tanganku. Bukan Arjuna Wiwaha, tapi Arjuna Wiwahahaha…! Buku ini bercerita tentang sosok Arjuna yang
diejawantahkan di Jepang. Sebelum turun di Jepang, ia harus digulawentah dahulu
oleh Dewa Ruci. Arjuna digembleng di sebuah kawah candradimuka yang ternyata
brengsek sekali, yaitu dalam lubang telinga Dewa Ruci yang berlendir. Betatapun
demikian, gemblengan itu penting, karena ia akan diturunkan di sebuah tempat
yang sama sekali asing. Ras, adat, pakaian, watak, dan juga bahasanya sama
sekali lain.
Seperti judulnya yang seakan
memelesetkan karya Mpu Tantular itu, isinya juga kocak sekali. Aku kutipkan
sedikit saja Dan, sebuah adegan ketika ia (Arjuna) selesai bertapa, dimana Dewa
Ruci memberikan wejangan sebagaimana Sunan Bonang yang mewejang Sunan Kalijogo ketika selesai bertapa.
Timing
itu rupanya memang sudah dekat, sebagaimana diisyaratkan Dewa Ruci suatu
ketika.
“Arjuna
Anakku, “ujarnya, “bersiap-siaplah kamu mulai sekarang ini. Kamu akan segera
dipentaskan di panggung bumi. Dalam satu lakon yang sama sekali baru. Dengan
setting yang cukup asing. Di tengah satu lingkungan yang menggunakan bahasa
yang tak pernah kamu kenal selama ini. Karena itu, kamu harus benar-benar
mempersiapkan diri. Untuk itulah kamu disekap di tempat ini.”
Arjuna
tak peduli.
Tetapi,
dewa Ruci melanjutkan wejangannya tanpa peduli.
“Akhiri
proses ini dengan semadi yang khusyuk, dan dengarkanlah kulaih penghabisan
ini….”
DEwa Ruci
mendehem tiga kali, memperbaiki posisitubuhnya, lalu berujar lagi. “Kenikmatan
yang bersala dari hubungan duniawi, hanya merupakan sumber penderitaan belaka.
Ada awalnya, ada akhirnya, o, Arjuna. Tak seorang budimanpun tertarik pada
semua ini….”
“Gua juga
nggak tertarik sama ocehanmu itu!” damprat Arjuna khaki.
Dewa Ruci
benar-benar tak peduli.
“Dia yang
kuasa menahan hawa nafsu-birahi-dan amarah-murkanya di dunia, sebelum
meninggalkan jasad-raganya, dia adalah orang yang berbahagia, o, Arjuna….”
“Nggak
lucu! Kampungan! Cepat keluarkan gua dari sini!”teriak Arjuna dengan geram.
“Gua pernah membaca semua yang kamu ocehkan itu dalam Bhagavadgita! Dan kamu,
Dewa, enak saja mengutip tulisan orang tanpa menyebutkan ssumbernya! Tidak
etis! Amoral!”
Ha, ha,
ha! Sori! Kirain kamu belum tahu…!”
Lain kali akan kubuat catatan pendek
tentang buku itu. Sekarang cukup sekian dulu, karena kau belum selesai
membacanya. Eh, Dan, kalau kau berkenan tapi, tentu berkunjung ke Mbah Hoery
akan lebih asyik bila kau turut serta.
Mohamad Tohir