Kado ulang tahun untuk St. Naf
OLEH
MOHAMAD TOHIR
Ia merenung, perkawinan yang dahulunya dianggap sebagai puncak dari
perjalanan hidup, bukankah kisah-kisah masa lalu maupun sekarang selalu
meletakkan tinggi-tinggi perkawinan sebagai eksekusi cerita?, kini tak ubahnya
seperti air saja. Seperti air bening yang dikucurkan dari ceret, kendi, ataupun
gentong pada cangkir, gelas, duwok, atau wadah-wadah lainnya. Secantik apapun
wadah, rasanya toh sama saja. Lalu, apa rasa air?
Sekonang, 2012.
Teras Rumah Kamituwa
Orang-orang melintas di depan rumah itu,
rumah masa kecil dan remajanya, memikul atau menjinjing buntelan ke sawah dan
ladang. Jalanan menuju ke sawah berkelok-kelok dan agak curam. Jauh menuruti
jalan yang berkelok itu, bengawan solo terbentang luas. Saat kecil, Dita,
perempuan yang sedang merenung itu, sering menapakkan kakinya yang telanjang,
sekadar berlarian saja atau kadang menengok Bapaknya yang sedang mencangkul,
ndaut, atau membajak. Ia menungguinya di galengan. Ada gubuk kecil di sana.
Kadang ia ditemani Aripudin. Ah, Pudin, kenapa baru sekarang ia ingat nama itu?
Matahari sudah nampak sejengkal dari garis
batas sawah dan langit yang nampak pada arah matanya memandang, jauh sana.
Duduk di kursi malas, kedua mata sipitnya memadang entah apa dan kemana. Bukan
pada garis batas sawah dan langit pada nampaknya itu tentunya.
Dita. Sudah sejak kemarin ia di rumah orang
tuanya itu. Sendirian, naik kol kuning, melintasi jalanan paping yang
berkelok-kelok dan naik turun, pohonan hijau, sawah-sawah, mbok-mbok berkemben
, spanduk-spanduk merek rokok, baliho-baliho bernomor dan wajah segede perut
kerbau. Ah, tak ada wajah Saipul, suaminya. Di emperan rumah, Bapaknya
menyambut dengan pelukan dan tanya yang disembunyikan. Dia mengerti, putri
sulungnya sedang bertengkar. Dia juga tahu, Dita hanya butuh sehari dua hari
menyendiri.
Rumah itu kini hanya ditinggali Bapak,
adiknya Jasniti, dan suami yang baru menikahinya setahun lalu. Sedang Mboknya
telah berpulang, saat umur pernikahannya dengan Saipul menginjak setahun
setengah. Dita mengenal Saipul saat lelaki itu menjadi peserta KKN di Sekonang,
dusun di Desa Soko-Temayang. Saipul lelaki pintar, tampan, dan hangat bergaul
dengan warga. Ia sering menemui Bapaknya yang kamituwa Sekonang, hampir setiap hari malah. Dita sering mengikuti
pembicaraan keduanya, meski ia tak paham dan hanya diam saja dan sesekali
memandang wajah lelaki itu dan seperti ada buncah di dada saat mata mereka
secara tak sengaja bertemu. Dengan Aripudin, Saipul juga nampak cocok meskipun
Pudin yang pandai bercanda dan ngakak sering terlihat hilang arah saat Saipul
bicara soal yang rumit-rumit.
Setahun berselang sehabis KKN, Saipul datang
lagi ke rumah. Saat itu masa akhirnya kuliah, menunggu wisuda. Ia kaget saat
tahu Saipul menyatakan ingin menjadikan ia istri dan memboyongnya ke kota. Ia
masih heran hingga kini, entah mengapa ia tiba-tiba tersenyum kala itu, meski
tertahan, sehingga ibunya lantas mengiyakan lamaran Saipul.
“Oalah, lha wong pengingas pengingis begitu.
Mau berarti!”
Ah, Mbok! Dimana kini gerangan? Saat
menginjak rumah ini, mboknya seperti masih ada, di dapur, atau di kamar paling
sudut itu. Kamar itu kosong. Kata bapaknya, pesan mbok, kamar itu untuk Dita
dan Saipul kalau ke rumah.
Mbok meninggal setahun setengah sejak mereka
kawin. Padahal mboknyalah yang mewanti-wanti agar mereka cepat punya anak. Kini
Shinta sudah tiga tahun hampir empat, sebentar lagi masuk TK.
“Mbok ya ndak usah diende-ende, Nduk, Cah Ayu! Anak itu Nduk, bisa bikin sayang ke bojomu tambah kenceng,” kata Mboknya saat ia berkunjung di lebaran tahun pertama
perkawinan.
“Lhoh, pagi-pagi kok ngelamun. Sono, Nduk,
Cah Ayu, mbantu adekmu di pawon, nggodok gembili dia.”
“Bapak!”
Tiba-tiba ia merangkul Bapaknya yang muncul
di depan pintu. Bapaknya tak banyak tanya. Rangkulan itu semakin kencang.
“Habis subuh tadi papanya Shinta nelpon,
katanya mau kemari, lusa. Sekalian liburan habis besok ada acara partai di
lapangan Kecamatan.”
Dita diam saja. Makin erat. Punggungnya
bergetar-getar.
Kebun.Sore hari.
“Lhoh…”
Yang menyapa dan yang disapa sama-sama kaget.
“Pudin!”
“Kapan pulang dan sudah berapa tahun yo?”
Pudin selalu lewat jalan itu, jalanan yang
sama dengan kebun kamituwa, bapak Dita.
“Baru. Iya. Nggak pernah mampir. Lama ya.”
Dita mengepalkan tangannya. Ingin ia meninju
lengan lelaki di depannya. Dita tak pandai ngomong. Tapi pada Pudin ia bisa
cerita apa saja. Bisa menjawil-jawil dan mengejek Pudin sekenanya dan semaunya.
Tapi baru akan ia angkat kepalan tangan itu kini, ia urung. Ada sesuatu yang
menghalanginya entah apa itu meskipun betul-betul ingin.
“Tambah gemuk saja Pak Carik!”
“Oo, jelas dan pasti. Dan enaknya jadi
bujangan dan banyak duwit!” Di atas balutan sarung, dadanya bergerak-gerak.
Benar-benar gemuk dia.
Pudin tertawa ngakak. Ia tak malu menunjukkan
giginya yang tak rata di depan taman kecilnya itu. Ya, teman. Teman masa
kecilnya.
Dita hanya senyum saja meskipun ia ingin juga
ngakak. Seperti dulu, ngakak-ngakak saja tanpa ada sebab. Hanya di depan atau
disamping Pudin tentunya.
Pudin hendak mandi di sungai. Tubuhnya yang
telanjang nampak basah berkeringat. Ikatan sarungnya menggantung di bawah
perutnya yang bodong pusarnya. Dulu
mereka sering ke kebun, semasa kecil dulu. Petak umpet, pasaran, dan
nganten-ngantenan.
“Kalau besar nanti kamu mau jadi nganten sama
siapa, Pudin?”
“Ya sama kamu tho.”
Dita masih ingat dialog itu tentunya. Pudin
juga.
Mereka melepas rindu. Cerita apa saja,
tentang Shinta, Saipul, kabar di kota, Sekonang yang jalannya sudah dipaping,
yang kincir airnya rusak parah karena kata orang dikeleti bangsa alus, dan
entah apalagi. Cerita-cerita yang meskipun diringi tawa-tawa, sebetulnya banyak
yang basa-basi dan lama-lama rasa kikuk dan rikuh muncul juga.
“Shinta kok nggak diajak. Edan kamu!”
Dita hanya tersenyum, sebentar, dan bibir itu
mengatup. Pudin mengerti.
Pudin pamit mandi. Kalau Dita menerima
tawaran basa-basi Pudin, mereka akan bertemu malamnya.
Hujan mengguyur malam di tanah Sekonang.
Tidak lebat tapi juga tak rinai, apa namanya. Yang pasti ngreceh terus. Seperti tak mau reda. Seperti mau menahan mereka
dalam dingin di emperan rumah.
Cerek berisi teh masih mengepulkan asap dari
pucuk mulutnya. Ada mangkuk kecil berisi gula pasir. Pudin tahu, kalau belum
berubah, Dita suka minum teh dan gulanya terpisah. Seteguk teh lalu disusul sejumput
gula. Seperti borjuis, kata Pudin dulu mengejek.
Dita tiba di rumah lelaki yang menjadi carik
itu sejak setengah jaman lalu, sebelum menit kemudian hujan turun. Tentu saja
ia tak ingin berlama-lama, namun alam sepertinya hendak menahan mereka dalam
balutan dingin malam berhujan.
“Kamu kok belum kawin-kawin. Keburu njamur
lho!”
Pudin tertawa meski pertanyaan itu serius.
Meskipun ia tahu Dita bermaksud memancingnya berkata-kata, tentang perasaannya
tentunya. Meskipun ia tahu bahwa Dita tahu, meskipun tak terucap, ada apa dalam
dada lelaki yang membuatnya merasa bisa tertawa lepas itu. Meskipun ia tahu
pertanyaan itu sebenarnya tak butuh jawaban berupa kata-kata. Bukankah diam
juga tak salah menjadi sebuah jawaban? Hanya saja, kata-kata njamur itu, menusuk-nusuk
perutnya yang agak buncit itu, dan lantas tertawa.
“Lhoh. Ketawa! Ditanya kok. Sudah jadi carik lho, kurang apa lagi. Wah, gimana?”
Beberapa lama mereka terdiam. Hujan masih
ngreceh. Mungkin ingatan masa kecil mereka menari-nari di tempurung kepala.
Hujan deras begini, pernah, suatu sore, mereka kebetheng di gubuk sawah Bapak
Dita. Petir menyambar-nyambar. Dita ketakutan dan menyembunyikan wajahnya di
dada lelaki itu. Tentu sukar menangkap maksud dari gerak jiwa mereka yang masih
belum paham tentang ‘rasa yang tinggi’ itu.
Dita menyandarkan tangannya pada pinggir
meja, menyangga dagunya sehingga nampak seperti terlipat. Matanya memandang
kucuran air pada bebatuan kecil di tanah emperan bawah ujung genting.
Ia ingat rumahnya. Ingat Shinta dan Saipulnya.
Entah apa yang ada di tempurung kepala dan bolongan dalam dadanya sehingga ia
nekat pergi begitu saja kemarin pagi. Pagi itu, Shinta ikut papanya. Mungkin ke
kantor. Shinta memang suka ikut papanya. Malam sebelum tidur, Shinta sering
cerita tentang tante cantik bernama Olip.
Akhir-akhir ini Dita memang gampang marah.
Apa karena sedang hamil muda atau entah karena apa. Ia seperti tak ingin
melihat wajah Saipul sampai entah berapa hari. Ia ingin merasakan sebuah
kerinduan. Kerinduan yang mendalam. Mungkin saja kerinduan itu berada dibalik
ujung kemarahan dan kebencian. Tapi apakah ia benar-benar marah? Dimana
batas-batas marah, cinta, rindu, cemburu, dan ragam rasa lainnya. Apakah rasa
itu memang berbatas dan bersekat-sekat?
“Kau terlalu cemburu, Sayang?” kata Saipul
malam itu di balik punggungnya.
Tiga bulanan ini memang Saipul kerap pulang
malam. Kata Saipul, ada gawe besar di partai dan jadwalnya tak tetap. Sampai
rumah, belum sempat makan dan mandi, kadang ia sudah berangkat lagi.
Malam itu, selepas isya’, Saipul pulang
bersama seorang pemepuan. Shinta langsung menghampiri perempaun itu dan
menganalkannya pada mamanya.
“Tante Olip cantik ya, Ma!”
Iya, tante Olip memang cantik, Shinta. Dita
merasa menciut berhadapan dengan tante Olip. Perempuan muda itu begitu riang
dan lembut sekali pipinya. Mata beningnya selalu menyenangkan saat memandang
lawan bicaranya. Bau napasnya harum, baju birunya nampak pas dan pantas, dan
suaranya bening sekali seperti, ah, entah seperti apa…
Malam itu Saipul keluar bersama tante Olip.
Tante Olip memang baru lulus SMA setahu lalu. Tapi Dita betul-betul merasa
lebur bersanding dengannya. Dita dingin saat perempuan itu menyalami tangannya.
Punggung tangannya terasa berubah wujud menjadi gagang tongkat kasti saat
menyentuh pipi lembut itu. Ada tusukan dalam dadanya, meski ia yakin Saipul tak
akan jatuh cinta.
Sebenarnya, meski sudah punya Shinta yang
hampir empat tahun umurnya, Dita masih merasa kerdil di hadapan suaminya.
Ia rasa suaminya kelewat baik dan hebat. Saipul baginya masih paling pintar,
tampan, dewasa, cekatan, jujur, dan terpandang dimanapun berada. Entah mengapa
sulit baginya belajar menjadi seperti ibu-ibu sebelah. Kumpul di teras rumah Bu
Yanti, rumah sebelah, bersama ibu-ibu lainnya, hanya ia lakoni sekali.
“Saya susah mengikuti pembicaraan ibu-ibu
itu,” keluhnya suatu malam. Saat itu usia perkawinan mereka baru setahun.
Arisan rutin ibu-ibu itu, ia pun sudah tak ikut lagi. Dita lebih senang, lebih
tenteram, berdiam di rumah, menyapu lantai yang sudah dibersihkan si Kartinah
pembantunya yang gempal itu, nonton film malam hari, atau membaca novel-novel
koleksi suaminya yang sampai memenuhi ruang atas lemari ruang tamu. Ia ingat,
mengapa ibu-ibu itu begitu biasanya menunjukkan gigi dan mulutnya saat tertawa,
saat mereka berkumpul setelah arisan bubar, dan biasa misuh-misuh juga.
“Diancuk kowe, pakai dukun ya!” kata salah
satu dari ibu-ibu itu saat arisan dimenangkan ibu yang bulan lalu sudah dapat.
Menjadi istri lelaki seperti Saipul, bagi
Dita, adalah seperti menjadi kucing yang bersuamikan harimau dari India. Ia tak
pernah merasa bangga dan berbesar dada, seperti ibu-ibu di kompleks perumahan.
Ia malah menciut dan serba rikuh. Ia tak bisa sepenuhnya menerima kecantikan
yang dimilikinya yang ia yakin betul lebih dari perempuan itu.
“Mama lebih cantik dari tante Olip lho!”kata
Shinta suatu malam, dalam bekapannya.
“Sungguh?”
“Iya!”
Tapi ia sadar ia salah. Kesalahan yang
disadarinya itu seperti mengejar-ngejar ia sampai kemanapun-sampai ia masuk
dalam lubang kuali.
Hujan belum mau reda. Jalanan di depan rumah
sudah tergenang air. Rumput-rumput hanya terlihat ujung-ujungnya. Sandel karet
Dita yang berwarna kunir bosok nampak paling terang di antara samdal jepit dan
ban, semuanya basah.
Sedang apakah Shinta sekarang? Apakah Shinta
menanyakannya? Shinta selalu nonton sinetron malam-malam seperti ini, bersama
Kartinah, yang juga suka nonton sinetron. Shinta baru menyusul ke kamar saat
sudah capai nonton. Dita tak suka sinetron. Ia suka nonton film tengah malam.
Saat Shinta tidur dan semua juga tidur, ia biasa ke ruang tengah dan menyetel
TV. Ia suka dengan Sherlock Holmes, Pride and Prijudice, Iron Man, dan banyak
lagi, meskipun ia lelah membaca tulisan di bawah gambar dalam film-film itu.
Saat nonton Madame Bovary misalnya, ia selalu ingin menjadi seperti Madam
Bovary yang galak dan tak segan menagih pada orang-orang jahat yang mengutang
terlalu lama pada suaminya.
Ah, tentu menyenangkan jadi istri si Pudin! Astaghfirullah! Batin Dita.
Malam masih dibalut hujan. Suara katak,
jangkerik, dan binatang malam lainnya bersahutan.
Pudin diam saja saat Dita pindah duduk agak
dekat di sampingnya. Ia juga diam saja saat Dita menyandarkan kepalanya di
pundaknya. Ia tahan rasa rikuh dan khawatir kalau saja ada seseorang entah
siapa yang tiba-tiba melihat mereka. Juga Ayahnya di dalam yang tiba-tiba
keluar menengoknya. Entah apa kata orang nanti. Tapi entah mengapa ia
membiarkan semua berjalan apa kehendak alam.
Kehadiran dua sosok yang berjalan ke arah
mereka lah yang memaksa Pudin harus menggoyangkan pundaknya dan Dita pun
terkaget. Ia minta maaf.
Anak kecil dan seorang laki-laki berjalan
dalam lindungan payung. Lampu jalanan mengaburkan pandang sehingga belum bisa
Pudin mengenali mereka. Hanya ketika anak kecil itu berlari dan berteriak
memanggil mamanyalah, mereka berdua, Dita dan Pudin, kaget.
“Mamaa!”
Shinta. Ya, Shinta. Anak itu berlari dan
menghambur dalam pelukan mamanya. Sambil memeluk putrinya, ia melihat Saipul
berdiri mematung memandanginya.
Pudin juga bediri mematung.
Kampungbaru, Mei 2013