LINGKARAN AHMAD TOHARI





LINGKARAN AHMAD TOHARI


 MOHAMAD TOHIR

AHMAD TOHARI dibaca lagi di Arisan Buku Komunitas Sindikat Baca. Yang dahulu adalah Ronggeng Dukuh Paruk, dan kali ini Lingkar Tanah Lingkar Air. Pembacanya adalah Danial A. Dia membagikan sekelumit cerita tentang LTLA yang baru saja dibaca ulang setelah dibacanya dua tahunan lalu. Yang hadir dalam pertemuan rutin bulanan ini; Shinta D. Damayanti, A. Fathon, Tulus B. Santoso, Agung, Umu L., Faisol Abidin, Sholahudin Afif, dan A. Nashruli.
Sama dengan karya Tohari lainnya, LTLA adalah sebuah fiktif yang fakta. Yakni, sebuah karya imajinatif (realitas fiksi) yang tidak berangkat dari angan-angan dan imajinasi belaka, tetapi ada latar kejadian nyatanya di realitas fakta. Fakta itu adalah peristiwa yang melingkupi sejarah perjalanan bangsa ini ketika dia akan dan baru saja lahir. Yakni, di masa-masa akhir pendudukan Belanda dan ketika terjadi peristiwa pemberontakan ‘65. Kali ini yang lebih ditonjolkan adalah Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia yang tak lain adalah kelompok yang berasal dari embrio yang sama dengan PKI, Sarekat Islam. Kalau PKI adalah SI Merah, maka DI/ TII adalah SI Putih.
LTLA adalah sebuah novel kecil yang berkisah tentang sekelompok pemuda pejuang, mujahhid, yang berperang melawan penjajah alias ‘kafir’ Belanda. Adalah Amid dan Kiram yang berguru pada kiai kampung yang moderat bernama kiai Ngumar, mereka adalah tipikal santri tulen yang memegang teguh sami’na wa atha’na (baca:patuh banget).
Suatu ketika Kiai Ngumar memerintahkan mereka ‘berangkat’ karena ada fatwa yang bicara wajib perang melawan Belanda. Mereka berangkat ke Purwakerta untuk mencegat barisan truk Belanda di sebuah jalan. Tapi mereka kecewa karena hanya mendapat tugas menebang bambu untuk menghalangi jalan. Sialnya lagi, Belanda tidak jadi lewat jalan itu. Merekapun pulang.
Kekecewaan itu terobati saat mereka diperintahkan lagi untuk mencegat lagi-lagi truk Belanda. Mereka tampil dengan berani dan berhasil merampas senjata-senjata Belanda. Sejak pencegatan itulah, tanjakan cerita hidup dimulai. Amid dan Kiram membentuk barisan pemuda yang akhirnya tergabung dalam barisan Hizbullah. Hizbullah, yang tampil moncer dalam perang kemerdekaan ini, dibubarkan ketika Belanda menyerah dan mengakui kedaulatan RI. Darah juang telah mendidih dalam diri mereka sehingga sulit untuk tidak berbuat apa-apa. Kiai Ngumar memerintahkan mereka untuk masuk dalam tentara resmi pemerintah. Kang Suyud, tokoh yang lebih senior dari mereka berdua, yang fundamentalis, kerana tentara pemerintah bukanlah ‘barisan Tuhan’, menolak perintah itu. Amid dan Kiram yang gagal masuk tentara resmi, mengikuti jalan Kang Suyud yang bergabung dalam barisan DI/ TII pimpinan Kartosuwiryo. Mereka kali ini mengabaikan himbauan Kiai Ngumar untuk hidup normal sebagai orang desa biasa. Mereka  terseret arus melancarkan pemberontakan pada RI.
Hamid dan Kiram dalam dilema karena berseberangan dengan guru mereka Kiai Ngumar. Mereka menuruti jalan Kang Suyud yang, seperti motivasi perjuangan mereka-jihad fi sabilillah, bertahan di jalur Islam, bukan RI. Meskipun Kiai Ngumar telah berkata dengan diplomatis, bahwa dia melaksanakan Islamnya dengan cara ‘mendukung Republik Indonesia’.
Amid dan Kiram adalah tokoh-tokoh yang digerakkan dan ingin dicoba tampilkan Tohari sebagai sisi lain. Kalau dalam RDP, yang ingin dicoba tampilkan adalah ada banyak PKI yang bukan PKI, maka demikian halnya dengan ini. Ada DI/ TII yang bukan DI/ TII.
“Amid dan Kiram adalah orang yang bingung. Selepas belajar ngaji dan silat dari Kiai Ngumar, mereka tidak punya pandangan dan cita-cita mau apa dan ke mana. Mereka mengikuti saja ketika ada seruan jihad. Juga ketika diminta masuk tentara resmi, mereka bingung lagi karena tentara sedang terlibat pemberontakan. Juga ketika bergabung dengan DI/ TII, mereka juga bingung sebenarnya,” terang Danial.
Ending novel ini, kata Danial, adalah akhirnya Amid dan Kiram membantu tentara RI melawan pemberontakan PKI, “lagi-lagi yang menjadi kambing hitam adalah komunis.”
Ach. Nashruli membandingkan novel ini dengan karya Tohari lain, bahwa tidak ditemukan gambaran atau deskripsi alam yang cukup memukau seperti dalam karya yang lebih fenomenal, Ronggeng Dukuh Paruk (RDP), misalnya. Di RDP, suasana atau atmo pedesaan beserta problematisnya dibangun dengan begitu kuat, sehingga pembaca jadi terbuai dan masuk hanyut dalam realitas novel (pembukaannya tentang suasana kering kerontang sawah dan Rasus dengan tempe bongkreknya, misalnya). Juga Orang-Orang Proyek, satu-satunya novel Tohari yang tidak bicara seputar isu ’65, orang akan merasakan bening dan heningnya pikir saat membaca deskripsi Tohari tentang tukang pancing yang mantan aktivis mahasiswa.
Memang demikian LTLA ini. Peran Tohari begitu dominan dalam novel. “Ego Tohari terasa di novel ini sehingga terasa sekali seperti berkhutbah,” kata Danial.
Hal itu disambut oleh Shinta D. Damayanti. Shinta membaca karya Tohari yang Ronggeng Dukuh Paruk. Memang, membaca RDP, orang dibimbing untuk menilai sendiri gerak dan konflik tokoh-tokohnya. Tidak ada penilaian dari pengarangnya. Tidak ada pendeskrisitan kelompok tertentu yang saling gempur dan serang. Semuanya dieksplore sehingga orang bisa berempati pada kelompok yang salah atau buruk sekalipun. Pembaca kesannya dihormati.
“Kekiaian Tohari nampak sekali di novel ini. Dan bidikan Tohari ada pada konteks moralitas,” kata Danial, menilai novel ini.
Nama-nama dalam LTLA kalau diperhatikan memang demikian. Amid adalah dari kata bahasa Arab hamid (terpuji), kiram (mulia), Suyut (sujud=patuh) dan seterusnya.
Hamid akhirnya mati baik-baik meskipun pelayatnya sedikit. Ia menjadi martir membela RI, menggempur pemberontakan kaum komunis, seakan sebagai tebusan ia sendiri pernah jadi bagian pemberontak. Ia mati dengan syahadat.[]

                                                                                                                                                    Bojonegoro, 18 Mei 2014

Posting Komentar

Páginas

 

Copyright © Sebatas Menengok | Powered by Blogger | Template by 54BLOGGER | Fixed by Free Blogger Templates