Oleh Mohamad Tohir
Tempat terpanas di neraka disediakan
bagi mereka yang tetap
netral dalam masa konflik moral yang
besar.
(Martin Luther King,
Jr)
BEBERAPA kawan bertanya pada
saya, Prabowo atau Jokowi? Pertanyaan ini sudah terulang hingga entah berapa
kali, tapi selalu saya jawab dengan tawa.
Saya memang tidak mempunyai
power apapun selain diri saya sendiri untuk kedua pilihan itu. Jadi misalnya
saya milih Prabowo, saya hanya membawa diri sendiri, tanpa bisa mengerahkan
massa. Dan saya memang tidak punya niatan untuk mengerahkan massa. Itu yang
menjadikan saya hanya tertawa saja. Pilihan saya tidak akan punya pengaruh
apapun.
Hanya saja, masalahnya bukanlah
itu. Kalau itu masalahnya, selamanya saya tidak akan punya pilihan. Ada rasa
sesal mendalam yang bakal muncul kalau saya tidak ikut terlibat, kendati
keterlibatan itu hanya dalam benak. Maka, pengerahan massa biarlah urusan tim
sukses atau mereka yang punya power. Toh pada titik yang paling ujung, individu
adalah penentu. Pada maqom individu inilah pertimbangan mesti dimatangkan,
bukan hanya asal gruduk.
Saya tidak bisa melakukan analisa-analisa
besar yang muluk-muluk, apalagi sampai masuk ranah isme-isme. Untuk masalah
ini, dengan bermodalkan menyimak beberapa adu argumentasi kedua kandidat, saya
percaya bahwa mereka baik-baik. Mereka sama-sama berpikir untuk bangsa. Mereka
sama-sama punya gagasan untuk membangun bangsa ini ke depan. Maka, pertimbangan
yang paling krusial dan nyata adalah pada sosok, kedua kandidat itu.
Pada mulanya saya hanya
mempertimbangkan suka dan tidak suka. Maklum, orang kecil. Saya tidak suka
dengan Prabowo dan Hatta karena mereka disamakan dengan Soekarno dan Hatta.
Saya tak bakal percaya, ada sosok pengganti seperti kedua founding fathers
bangsa itu. Saya pikir, opini itu dikumandangkan oleh tim sukses atau para
pendukung mereka. Tetapi mata saya melihat betapa dalam hal paling kasat
matapun, nampak benar mereka sengaja mematut didi laiknya Karno. Aksen dan gaya
pidato misalnya (suara, micropon, dsb.) Saya jadi jijik sendiri. Maka dengan
ketidaksukaan ini, pilihan (yang mungkin masih premature) saya adalah pada
Jokowi-JK.
Sedari awal saya tidak pernah
melihat Jokowi punya niatan berkuasa. Ia diusung oleh orang-orang
kepercayaannya. Megawati yang selalu tampak kemaruk itu, ternyata meletakkan
egonya dan mendapuk Jokowi sebagai capres dari partainya, padahal dia pendatang
baru. Ada kader partai yang karirnya lebih makjleb dan sepuh, tapi mengapa
Jokowi? Saya suka dengan pemadangan ini. Salut untuk Mega untuk kali ini, meski
tidak sesalut saya pada bapaknya. Taek!
Kafer Jokowi memang ‘begitu’.
Tapi, merupakan tindakan goblok memandang sesuatu dari fisiknya belaka. Saya
jadi teringat Abdurrahman Wahid. Tidak ada yang menduga dia menjadi presiden
kala itu. Ia menjadi presiden di saat-saat genting dan, seperti Jokowi, dia
dicalonkan. Gus Dur ‘begitu’ secara fisik. Tapi, sebagai orang kecil yang
sering geram dengan tingkah polah petinggi-petinggi negeri ini, saya merindukan
Gus Dur. Ketidakberdayaannya malah menciptakan kekuatan besar di sekelilingnya,
people power. Daya dan potensi di bawah kepemimpinnya tersulut semangatnya dan
hidup. Itu yang menurut saya menjadi poin modal kepemimpinan. Sosok Jokowi
punya potensi untuk membangkitkan potensi dan kekuatan-kekuatan di bawahanya,
yang sekarang barangkali masih belum nampak.
Prabowo itu tegas, karena ia
orang militer, kata teman saya yang merasa calon pilihannya itu paling pantas.
Uh, bukankah tegas memang agak mirip dengan otoriter dan pada akhirnya berujung
pada kediktatoran? Saya geli melihat kenyataan seorang militer yang main
perintah dan menunggu dari atasan. Dan dalam konteks Prabowo, itu mendatangkan
malapetaka besar yang sampai saat ini kasusnya terkatung-katung. Prabowo tidak
pernah memberikan keterangan tegas mengenai kasus ini. Saat dipanggil untuk
dimintai keterangan, dia tidak datang.
Saya memilih Jokowi-JK.
Sekarang saya menjawabnya kalau ada yang bertanya. Beberapa waktu ini saya
memang geram dengan kabar-kabar yang datang dengan sendirinya saat saya sedang
melakukan apapun. Lewat TV. Lewat tulisan-tulisan, baik di media massa cetak
atau online maupun media sosial seperti facebook dan twitter. Ada saling
serang. Saling ejek. Saling menjatuhkan. Semuanya bertubi-tubi datang. Dan yang
paling gencar diserang adalah Jokowi. Dia diserang dari segala sudut, agama,
keluarga, fisik, gayanya, pencalonannya, dst. Sedang yang mengarah pada
Prabowo, semuanya adalah remeh temeh, kecuali soal malapetaka tadi.
Sekarang lihatlah, berbagai
dukungan yang kasat mata, berupa institusi atau lembaga besar yang punya massa
besar pula, berbondong-bondong menuju Prabowo. Dia nampak akan menang. Jokowi
kesepian. Ia nampak tidak didukung. Sejak menjadi guberbur DKI Jakarta Jokowi
sudah mulai mendapat serangan dan kesepian seperti itu. Dia bahkan dipandang
miring oleh atasan birokrasinya sendiri, presiden Subeyono. Tapi, siapa yang tahu
suara hati dan pilihan orang-orang yang tidak bernaung dalam lembaga-lembaga.
Mereka banyak jumlahnya, melebihi lembaga-lembaga yang kadang tidak mewakili
suara atau pandangan anggotanya. Masyarakatlah penentunya, pada akhirnya.
Masyarakat sebagai manusia. Sebagai pribadi.
Memang, semuanya dapat meleset.
Apa yang diperkirakan tentang Jokowi maupun Prabowo oleh siapapun bisa saja
berubah besok entah kapan. Pandawa tak sepenuhnya baik dan Kurawa tak
sepenuhnya buruk, orang Jawa punya falsafah ini. Yang penting, tidak usah
kaget. Tidak perlu dibesar-besarkan dan dilebih-lebihkan. Yang penting tetap
tersenyum pada kebaikan ataupun ketidakbaikan.
Saya akhiri catatan ini dengan
pengakuan bahwa saya mendukung Jokowi-JK. Saya akan memilihnya nanti, beberapa
menit lagi. Saya tidak bisa memberikan dukungan apa-apa kecuali kekuatan kecil
dalam diri saya. Senyum dan doa saya yang juga tidak pernah mempan. Mungkin
hanya satu yang saya bisa persembahkan, sebuah janji; jika Jokowi jadi
presiden, saya akan bikin novel (apapun itu). Aduh, sialan!
Begitu pikiran cekak saya.
Salam!
|K090720140941|
Posting Komentar