MATA SENO


Oleh Mohamad Tohir


wargamarhaen.blogspot.com

SAYA PUNYA beberapa teman diskusi kecil-kecilan akhir-akhir ini. Mereka adalah remaja semuanya. Saya sering menceritakan pada mereka tentang penulis-penulis dan bukunya. Baru-baru ini saya cerita tentang Seno Gumira Ajidarma. Bukan tentang teman-teman itu yang ingin saya ceritakan sebenarnya, tapi tentang pertemuan dengan Seno. Tidak banyak dan tidak dalam yang akan saya catat di sini. Sekadar dokumentasi agar tak terlupakan. Dan memang tidak terlupakan.
Saya ingin mencatat tentang perjumpaan dengan para penulis. Saya telah mengaku ingin menjadi seorang penulis. Ini karena saya seperti tidak bisa menemukan apa-apa untuk eksistensi selain menulis. Saya sering memotivasi diri bahwa tidak sembarang orang bisa menulis. Maka bisa menulis adalah kelebihan yang patut dibanggakan.
Tapi terkadang, nyali itu ciut ketika bertemu dengan orang-orang hebat di dunia macam ini. Saya tentu saja tidak bisa seperti mereka, yang telah melampaui masa-masa mengerikan dan terjal dalam hidup mereka demi menulis. Tapi di sisi lain ada sebuah senyawa yang mendorong dan menantang diri...
Sekitar Juli lalu, saya bertemu Seno Gumira Ajidarma. Saya berangkat ke Jombang mengikuti acaranya, sebuah talk show tiga jam di sebuah Universitas. Seno pembicaranya. Bukan tentang cerpen-cerpennya atau bagaimana dia sebagai seorang penulis yang ingin saya tekankan pada catatan ini. Tapi mengenai sebuah sensasi pertemuan dengan sang idola.
Saya pernah membaca tulisan Coelho dalam Seperti Sungai yang Mengalir. Coelho adalah penggemar berat Borges, sastrawan legendaris di Brazil, generasi di atasnya. Suatu saat dia melihat Borges di sebuah pantai. Coelho mendekati dan menyalaminya. Pada mulanya dia telah bersumpah akan menyatakan kata-kata kekaguman dan beberapa pertanyaan kalau misalnya berjumpa. Tapi ternyata itu tidak dilakukannya. Dia hanya menyapa saja. Menyebut nama Borges dengan nada tanya dan sapa. Sudah, itu saja.
Pertemuan saya dengan Seno juga demikian. Saya ikut acara diskusi itu. Tidak begitu menarik bagi saya. Karena pembahasannya seputar bagaimana menulis dan apa arti sebuah tulisan dan sastra. Pikiran-pikiran itu saya bisa mendapatinya dalam pertemuan apapun dan dari tulisan-tulisan Seno sendiri. Tidak harus bertemu Seno. Ketemu Seno hanya ingin merasakan sensasi.
Selepas acara, ada sesi foto-foto. Saya tidak ikutan. Saya hanya ingin salaman dan minta tanda tangan. Saya senang sekali karena dari ratusan peserta tidak ada satupun yang bawa karya Seno. Ketika hendak beranjak pergi saya mendekatinya. Saya minta tanda tangan. Buku saya yang Trilogi Insiden itu. Setelah itu kami salaman. Tidak bicara apapun. Itu saja. Seperti kata Coelho, “idola memang tak bicara.” Seno hanya menatap mata saya sambil tersenyum. Tapi saya tak bisa melupakan itu. Dalam perjalanan pulang saya bresumpah akan segera bikin novel. Seminggu setelahnya saya sudah menemukan judul novel saya. Sebuah Novel yang Belum Pernah Kau Baca dan memori yang Tertinggal di Kobuku. Sampulnya sudah saya bikin. Tapi, hingga kini, isinya belum kelar-kelar. Mata Seno membayangi saya.
15 Oktober 2014


Posting Komentar

Páginas

 

Copyright © Sebatas Menengok | Powered by Blogger | Template by 54BLOGGER | Fixed by Free Blogger Templates