Mohamad Tohir
dari : baltyra.com |
DI KAMPUNG BARU. Aku
terbangun di pagi buta. Jam di arlojiku yang tergeletak di kasur, pukul satu
lebih duasembilan. Ini benar - benar terbangun. Bukan bangun seperti biasanya.
Bukan pula belum tidur seperti biasanya.
Aku
tidak punya niatan sama sekali untuk salat tahajjud. Entah mengapa aku seperti
sedang penyakitan, berupa semacam tidak bisa menikmati aktivitas salat.
Pikiranku pasti akan macam-macam. Apalagi sesepi ini, di pagi buta. Penyakit
itu gambarannya begini, semacam pikiran misalnya: yang paling tidak kusuka dari
salat adalah gerakan-gerakan dan lafadh-lafadhnya yang terus-terusan begitu
itu. Kalau usiaku dua lima saat ini, dan salatku rutin, maka sudah berapa ribu
kali aku melakukan gerakan seperti itu. Kalau rohku bisa keluar dan menyaksikan
aku jungkar jungkir sendirian di malam buta dan sunyi, mungkin rohku bakal
tertawa. Aku sering tersiksa dengan pikiran seperti itu tiap kali salat.
Entahlah, yang paling kusuka dari rangkaian shalat adalah setelah salam. Saat
tiba di waktu berdoa. Waktu mengangkat kedua tangan. Waktu untuk memejamkan
mata. Membayangkan sedang berlutut di hadapan dan di sisi Gusti Alah. Memuja.
Meminta. Mengutuk. Menggeremeng. Mengingat seseorang yang kucintai.
Mendoakannya. Mengingat dosa-dosa. Mengingat mati. Mengingat apa saja. Maka,
sama saja, aku lebih suka menikmati malam yang sepi dengan merenung sambil
memejamkan mata, mengingat-ingat sesuatu.
Aku
seperti sedang memikirkan sesuatu tetapi juga seperti sedang mencoba untuk
menepisnya. Tapi apakah itu, aku sepertinya tidak tahu. Rasa-rasanya seperti
itu. Aku linglung kalau memikirkan ini terus. Sama sekali tidak jelas. Tentang
penasaran pada omongan orang, kangen,
geregetan, beberapa pekerjaan yang kutunda-tunda, kata-kata yang hendak kuucapkan
namun belum sempat dan tertunda lama, perasaan tentang uang yang selalu tinggal
berapa rupiah, tulisan-tulisan yang berserakan dan tidak kunjung kuselesaikan,
wajah orang-orang yang kuabaikan permohonan tolongnya, orang-orang yang
kubohongi, bagian kanan punggung yang selalu terasa pegal, kaki yang sering
nyeri, penasaran mengapa tidak pernah mengalami sakit hingga harus berbaring
seharian, waktu yang sering terbuang sia-sia, orang-orang yang selalu
mengajakku minum kopi (di tiap jam. Tiap hari. Tiap, aaaagh), komentar orang
seharian ini, atau entah apa. Semua mencuat sekaligus menguap.
Aku
keluar kamar. Ke kamar mandi. Melorotkan celana. Duduk. Buang air. Cebok. Berdiri.
Membenarkan celana. Ke mbale. Melihat buku-buku. Meminum kopi yang kubuat
beberapa jam sebelum tidur. Buku-buku tergelatak. Di sekitar tempat itu aku
bertemu dengan orang terakhir yang kutemui sebelum aku tidur, Afif San. Kami
berbicang soal Jepang, gunung, fotokopi buku AKUnya Sumandjaya, ulang tahun, desain,
komputer, foto kopi sialan, seks Arab, gerwani, kontrakan, dll. Sesaat setelah Afif
San pulang, aku mengambil buku. Asal ambil. Kubaca seenakku. Akhir-akhir ini aku
memang tersiksa oleh ling lung luar biasa karena tak bisa menemukan bacaan yang
sreg. Akhirnya tertidur. Maka, membaca, tak lain seperti telah menjadi semacam
pengantar tidur.
***
Kucoba
memejamkan mata kembali. Aku tak bisa. Kuingat-ingat beberapa kejadian di hari
ini. Pagi aku merampungkan pesanan cetakan orang. Pergi ke toko undangan,
memeriksa katalog baru, membeli plastik, lalu menyerahkan pada pemesan dan aku
menerima uang.
Saat
mengetik ini, masih nampak bekas cat, di sela-sela kuku, jari, dan
lipatan-lupatan kulit tanganku. Selalu saja begini. Aku tidak pernah
benar-benar bersih. Suatu ketika, kakak perempuanku bilang padaku dengan nada
bertanya, apa yang tidak dia sukai dariku. Dia jawab sendiri, aku tidak pernah
rapi (kutambahi sendiri; dan bersih).
Kulihat
ranjang tempat aku tidur. Aku sendirian malam ini. Kasurnya sudah pada meleot,
tertutup sprei yang sudah kelabu karena kotor. To Kill A Mocking Bird, Dengarlah Nyanyian Angin, White Castle, Kuil
Kencana, Self Transformation, arloji, pulpen biru, telepon genggam,
tergeletak di atasnya. Sebenarnya aku tidak suka kasur. Tidur di kasur sering
membuatku kebingungan dan tidak nyenyak saat tidur. Sebentar-sebentar bangun.
Dan serasa seperti menjadi seorang borjuis.
Aku
teringat kamarku di rumah. Bukan kamarku sebenarnya, punya kakakku yang sudah
tidak dipakai lagi karena dia pindah rumah, ikut suami di lain kecamatan. Kamar
itu berukuran sekitar empat kali empat. Ada ranjang dengan kasurnya. Sepreinya
awut-awutan, bermotif batik dan warna dasarnya hijau. Seprei itu tidak tertata
rapi. Buku-buku, kertas, bungkus rokok, pulpen, soffel, pelembab rambut, kaus
kotor, parfum, kabel, dll berserakan di atasnya.
Lantainya
beralas karpet yang salah satu sisinya sudah jebol. Ada sajadah di atasnya.
Sajadah itu menghadap ke barat. Ada sebuah meja belajar di sana, sekaligus
berfungsi sebagai meja rias. Ada cermin yang tidak terlalu lebar, untuk dipakai
sambil duduk. Tergeletak alat rias di sana, pewangi, pencukur bulu, pembersih
lubang telinga, minyak telon, gelas yang masih tersisa ampas kopinya, dan
debu-debu di kulit kayunya yang sepertinya sudah melekat kuat bercampur air dan
minyak.
Di
samping sajadah ada lagi-lagi kertas yang berserakan. Kertas sisa hasil
coba-coba proporsi tinta untuk sablon, photosol dan cairan ulisol dalam kaleng
tanpa tutup, paku besar, kursi tanpa sandaran, gelas plastik kotor, sisa
tumpahan kopi, kardus berisi koran-koran lama yang sudah tak muat sehingga
beberapa berserakan, dll.
Di
dinding ada lukisan ibuku -karya pamanku yang pelukis sufeniran, foto kakakku
saat masih SMA bersama tiga kawan lainnya, kabel besar yang menggelantung, jam
yang sudah tahunan mati, dan serawang di sudut-sudut.
Kamarku
yang sesungguhnya ada di sampingnya. Tanpa pintu. Hanya ada sekat berupa
kelambu yang rolnya sudah hilang beberapa. Ada lincak di sana yang mepet
dinding. Beralas karpet kecil. Sekarang berfungsi sebagai tempat salat ayahku.
Biasanya ibuku membaca kitab suci di lincak itu. Di samping kanan, mepet
dinding, terbentang papan panjang sekitar tiga meter. Di atas papan berderet
buku-buku yang kotor dan tak beraturan. Di bawah lincak ada kain-kain kotor,
sajadah lusuh, celana dalam, kertas-kertas tidak terpakai yang sebagian lembab
dan dimakan rayap, kaca-kaca pecah, botol berisi batu-batu kecil, pigura-pigura
plastik yang cuil. Pada dinding tertempel gambar-gambar pastelku bersama
keponakanku bila dia datang ke rumah. Ada yang berupa mata, gunung, manusia berwarna
hijau, rembulan, remot tivi, kura-kura, gajah, topi, jalan, pohon, dll. Di
dekat lincak ada meja komputer. Di atasnya tergeletak kaca spion, lem, tutup
botol, radio tua yang sudah mati, tempat pensil, tumpukan koran dan kertas,
sisa potongan rambut saya, botol parfum, cat, pencuci mulut, uang receh,
pulpen, alat rekam, buku-buku, dll.
Aku
teringat dengan kamar-kamar di asrama kawan-kawan Toru Watanabe di novel Norwegian Wood karya Murakami. Saya
kutipkan saja kalau begitu:
Kamar untuk dua orang kira-kira luasnya 9m2 dan di dinding yang berhadapan dengan pintu ada jendela berbingkai aluminium. Di depan jendela ditaruh kursi dan meja belajar, sehingga siswa bisa duduk di situ sambil bersandar ke jendela. Di sebelah kiri pintu masuk ada ranjang besi dua tingkat. Semua perabotannya sangat sederhana namun kuat. Selain meja dan ranjang, ada dua lemari, satu meja kecil untuk kopi, serta rak buatan. Bagaimanapun kita menilai bagusnya keadaan kamar itu, tetap tidak bisa disebut ruangan yang artistik. Umumnya di setiap rak di kamar ada radio transistor, pengering rambut, termos listrik, pemanas listrik, kopi instan, teh celup, gula, panci untuk membuat mi instan, dan beberapa peralatan makan. Pada dinding tertempel guntingan majalah Heidon Punch serta poster film porno yang entah hasil menyobek dari mana. Sebagai guyonan, ditempel juga gambar babi sedang kawin, tetapi yang seperti itu adalah kekecualian dari kekecualian. Yang tertempel di dinding hampir semua kamar adalah foto perempuan telanjang, penyanyi perempuan muda, atau aktris. Di sandaran buku di atas meja berjejer buku-buku pelajaran, kamus, novel, dan sebagainya.
Karena kami pria, kami
kebanyakan sangat kotor. Di dasar tong sampah, menempel kulit jeruk yang sudah
bulukan, di bekas kaleng minuman yang beralih fungsi jadi asbak puntung rokok
menggunung setinggi 10 sentimeter, dan kalau apinya masih menyala mereka
memadamkannya dengan menyiramkan kopi atau bir, karenanya di situ tercium bau
tengik. Semua peralatan sudah menghitam, di sana-sini menempel sesuatu yang
entah bernama apa, di lantai berserakan bungkus mi instan, botol bir kosong,
tutup sesuatu dan sebagainya...
Aku tak bisa
melanjutkan. Rasanya seperti menulis tentang kamarku sendiri. Biar ada obatnya,
kulanjutkan saja konsidi kamar Watanabe:
...
kamarku sangat bersih bagai ruang tempat penyimpanan jenazah. Di lantai tak ada
setitik pun sampah, di kaca tak seupil pun noda, kasur seminggu sekali dijemur,
pensil tersimpan rapi di tempatnya. Sampai-sampai gordenpun dicuci sebulan
sekali. Itu karena teman sekamarku cinta kebersihan. Aku pernah memberi tahu
pada yang lain bahwa dia suka mencuci gorden, tapi tak seorang pun percaya. Tak
seorang pun tahu bahwa gorden itu sesekali harus dicuci. Mereka yakin bahwa
gorden adalah benda setengah abadi yang menjuntai di jendela. Mereka malah
mengatakan, dia orang aneh. Sejak saat itu mereka menjulukinya Nazi atau
anggota komando pasukan gerak cepat (kopasgat).
Sudah.
Capek. Baru terasa aku mengantuk lagi. Dan nampaknya aku harus benar-benar
tidur. Kemarin malam aku hanya tidur sebentar, juga malam-malam sebelumnya.
Malam-malamku akhir-akhir ini kuhabiskan dengan banyak melamun, memandangi
halaman-halaman buku tanpa membacanya, menjelajah website-website para penulis,
mengutak-atik desain blog ini, menyicil pesanan sablon, nonton film yang sudah
kuputar berkali-kali, dll.
Saat
bangun nanti, aku bakal mencari koran. Karena ini hari minggu. Sebatas menengok
lembar-lembar cerpen, buku, esai, tokoh-tokoh penting, dan catatan-catatan
ringan.
Bojonegoro,
23 November 2014
RBKB,
Senthong Lor, 03.01pagi
Posting Komentar