Oleh Mohamad Tohir
pict : wikipedia.org |
MEMBACA cerpen Eka Kurniawan Cinta Tak Ada Mati,
saya jadi yakin itu terpengaruh karya Gabriel Garcia Marquez yang Cinta Sepanjang Musim
Kolera.
Cinta
Tak Ada Mati cukup membuat saya tegang
sepanjang jalan cerita hingga tiba tiba di ending yang sama sekali tidak saya
pikirkan. Dan inilah yang kemudian membedakannya dengan punya Marquez. Cinta Sepanjang Musim
Kolera sebenarnya adalah sebuah novel. Tapi oleh Anton Kurnia diterjemahkan
sembari diringkas saat muncul di Suara Merdeka sekitar 2008 lalu. Adalah
tentang penantian seorang lelaki bernama Florentino Ariza pada perempuan
pujaannya bernama Fermina Daza. Florentino adalah lelaki miskin dan dari
golongan bawah yang jatuh cinta pada Fremina. Mereka sama-sama cinta. Tapi
cinta mereka tak bisa bersatu karena Fermina buru-buru menikah dengan lelaki
ningrat pilihan orangtuanya. Berbeda dengan kisah Romeo dan Juliet yang memilih
nekat bersama meskipun maut menjelang, mereka memilih menerima nasib. Tapi
Florentino tetap saja gila. Dia menunggu Fremina hingga kapanpun. Sampai tua,
meski tidur berkali-kali dengan perempuan, dia tidak kawin. Dia menunggu kapan
waktunya. Ada kemungkinan si suami kekasih pujaannya mati dan itulah saatnya.
Suatu ketika, tersiar kabar tentang kematian suami Fermina Daza.
Nah, Cinta Tak Ada Mati
ini adalah penantian panjang selama 60 tahun seorang lelaki tua bernama Maneo
pada cinta Melatie, pujaannya sejak remaja. Maneo ini adalah petugas karcis di
sebuah bioskop. Dia melihat Melatie pertama kali di bioskop itu dan jatuh
cinta. Tapi tidak pada Melatie. Dia tidak mencintai Maneo. Beberapa kali Maneo
berusaha memikat Melatie dengan memberinya karcis gratis dan mereka nonton film
bersama. Tapi nonton adalah nonton dan cinta adalah cinta, bagi Melatie. Hingga
suatu ketika Melatie terlihat datang untuk nonton bersama seorang pria yang
berprofesi sebagai dokter. Dokter inilah yang kemudian menjadi suami Melatie.
Maneo tetap mencintai Melatie
meski sudah bersuami. Dia menunggu sampai tua dan tidak pernah bersinggungan
dengan perempuan. Dicobanya melirik gadis-gadis cantik dan seksi yang kerap
muncul sebagai sales-sales di taman kota, dia tetap tak bisa. Bayangan wajah
Melatie tak pernah mati. Enam puluh tahun berlalu dan dia tetap menanti. Si tua
Maneo telah sakit-sakitan. Dokter manapun tak bisa mendiagnosa apa penyakitnya.
Salah seorang psikolog akhirnya bilang padanya untuk melupakan perempuan itu
dan memulai hidup baru.
Hingga suatu ketika terjadi
kecelakaan yang korbannya adalah Melatie dan anaknya. Mereka tewas seketika.
Tidak pernah terbayangkan sebelumnya oleh Maneo bahwa Melatie bakal mati
terlebih dulu. Padahal selama itu yang menyemangatinya adalah si dokter bakal
mati duluan karena secara usia dia jauh lebih tua dari Melatie. Kalau perlu,
bakal dibunuhnya dokter itu.
Pupuslah harapan Maneo.
Penantiannya yang sekokoh gunung, tumbang sudah. Malah dokter itu yang tersisa,
yakni sebuah kematian yang diidam-idamkannya selama ini dan memberinya harapan.
Dalam sebuah pertemuan, dia hendak membunuh dokter itu, sebagaimana imajinasi
awalnya bahwa dokter itulah yang bakal mati duluan. Tapi ketika sebuah belati
siap dihunjamkan, entah kerasukan setan mana si Maneo, dia malah mengecup bibir
si dokter. Di sanalah tersisa ciuman Melatie.
Membacanya sendiri tentu lebih
terasa nyawa dan sensasinya. Judulnya saja sudah keren: Cinta Tak Ada Mati.
Kalau tak ada cinta, Maneo pasti sudah mati. Mati dalam kekecewaan atau
penantian yang konyol. Atau si dokter yang mati. Atau Melatie yang mati.
Eka Kurniawan, dalam kancah
sastra indonesia, cukup dipertimbangkan kapasitasnya sebagai penulis. Dia
tampil beda dan punya teori dan bacaan yang kuat. Dia menghindari selera umum.
Saya belum banyak mengenal karyanya. Baru-baru ini saja. Saya hanya punya satu
bukunya, yang terakhir itu : Seperti Dendam, Rindu
Harus Dibayar Tuntas (tentang burung yang tidak bisa ngaceng dan dilema
hidup). Cerpen yang saya ceritakan di atas, saya baca di On/Off edisi 10 Kisah Cinta yang
Mencurigakan. Saya termasuk terlambat membaca Eka. Belum ada
limabulanan ini saya membaca tulisan-tulisannya yang berbobot namun renyah pada
halaman blog pribadinya, jurnalnya: ekakurniawan.com. Saya jadikan itu dalam
daftar biblio saya di sebatas menengok ini.
Saya tak bisa bicara panjang
dan menganalisa cerpen yang sebenarnya luar biasa itu. Saya hanya pembaca yang
kecil dan goblok. Apa yang saya lakukan baru sebatas menengok.
Philokopi, 13 November
2014
2 comments
Ikut menengokk..
Sila. Maaf, masih awut-awutan. Sekadar antisipasi agar tidak lupa dan belajar sedikit rapi. Suwun..
Posting Komentar