Oleh Mohamad Tohir
ORANG TUAKU mempertanyakan diriku yang ingin jadi penulis. Aku tak menjawabnya. Aku merasa mereka menganggap ini adalah kekeliruan. Padahal, hanya butuh kepercayaan saja, aku akan mantap dan kerja lebih keras lagi untuk mewujudkannya. Aku diam di tengah kemelasan dan kecapekan mereka. Aku tak bisa membela diri. Aku juga tak bisa membuat mereka percaya. Bahkan rasanya aku hanyut oleh ketidakpercayaan mereka. Saat seperti ini, aku dihantam oleh memori-memori kelamku di masa lalu. Bahwa aku tak pernah berhasil dan selalu kebingungan. Di pesantren, Pare, Nganjuk, pekerjaan, dunia pergerakan mahasiswa, komunitas, dst...
ORANG TUAKU mempertanyakan diriku yang ingin jadi penulis. Aku tak menjawabnya. Aku merasa mereka menganggap ini adalah kekeliruan. Padahal, hanya butuh kepercayaan saja, aku akan mantap dan kerja lebih keras lagi untuk mewujudkannya. Aku diam di tengah kemelasan dan kecapekan mereka. Aku tak bisa membela diri. Aku juga tak bisa membuat mereka percaya. Bahkan rasanya aku hanyut oleh ketidakpercayaan mereka. Saat seperti ini, aku dihantam oleh memori-memori kelamku di masa lalu. Bahwa aku tak pernah berhasil dan selalu kebingungan. Di pesantren, Pare, Nganjuk, pekerjaan, dunia pergerakan mahasiswa, komunitas, dst...
Bayangan
ketika aku keluar dari pesantren adalah pukulan dan godam luar biasa buatku.
Adalah kebodohan, iya. Kesalahan, iya. Kejahatan, iya. Lantas apakah menyesal? Iya
menyesal. Meskipun wajar, bahwa menyesal adalah bagian dari kemanusiaan. Ini
bagian dari keniscayaan menjadi manusia. Tapi, pemuda 18 tahun yang memanggul
kardus berisi buku-buku itu, yang mengibarkan bendera merah putih itu, yang
terlunta-lunta di terminal selama tiga hari, yang kebingungan hendak kemana,
yang sedang bosan dengan rutinitas dan nol tantangan, yang berkehendak bertemu
Tuhan, yang gandrung dengan Chairil Anwar, yang berada di puncak kesombongan,
mereka menyerbuku. Membuatku ciut segalanya.
Saat
seperti ini, aku terhibur oleh Paulo Coelho.[1]
Aku sering merasa senasib dengan dia. Tapi, aku orang goblok. Yang kecil
kemungkinan bisa seperti dia. Lihat, di usiaku yang semestinya matang ini, aku
belum kunjung dewasa. Belum banyak yang kupelajari. Makna-makna hanya lewat di
depan mata begitu saja, tanpa membekas dan melekat. Aku masih bermimpi dan
tidak sadar itu adalah mimpi. Masih merasa aman dan nyaman dengan kemungkinan
aman dan nyaman yang telah kuhancurkan. Saat-saat itu adalah saat dimana aku
memutuskan memilih kekuatan dalam diri daripada kekuatan di luar diri. Saat itu
aku tidak peduli sama sekali dengan ijazah formal yang memungkinkanku bisa
lebih mudah melewati jalan. Saat di hadapan dosen penguji skripsiku, kubilang
dengan lantang bahwa apa yang hendak diuji-dipertanyakannya adalah bukan
karyaku. Betapa sombongnya manusia. Betapa sombongnya diriku. Sementara
sebenarnya aku tak berdaya.
Semua ini
gara-gara keinginanku untuk menjadi penulis. Lantas seakan aku abaikan
segalanya. Dan yang kuabaikan itu tentu saja mengabaikanku. Layaknya karma. Aku
tak tahu apakah bisa bertahan dan melawan. Ataukah harus menjilat ludah
sendiri?
Aku hanya
butuh bukti. Aku hanya butuh segera melakukan sesuatu. Sementara aku masih belum
bisa untuk tidak mengeluh. Mengeluh pada entah apa dan siapa. Tentang menjadi
sesuatu yang sebenarnya bukan sekadar soal menjadi...
Bojonegoro, 2014
[1]
Di usia 8 tahun, Coelho menyatakan kesungguhannya menjadi seorang pengarang.
Oleh orang tuanya, dia dianggap tidak wajar. Dia sampai dimasukkan di rumah
sakit jiwa gara-gara bersikeras.
Posting Komentar