Oleh
Mohamad Tohir
Rangga. edit-pict; tohdesign |
BEBERAPA
MINGGU ini, orang ramai membincang AADC yang tiba-tiba muncul sebagai iklan
Line itu. Dian Sastro yang tak muncul lama itu kembali nongol dan tampil segar.
Saya juga akan turut sedikit ikutan. Meskipun tak masuk di
hiruk pikuk itu. Saya hanya mencatat di sini. Saya enggak rela dong, kalau
dibilang tidak mengikuti itu film.
Saya termasuk korban AADC. Saya Saya nonton pertama kali
saat masih duduk di Madrasah. Kakak saya yang nonton sebenarnya. Bukan saya.
Saya hanya melihat kakak saya nonton. Saya menontonnya sekitar enam tahun
kemudian. Saat saya duduk di bangku Madrasah Aliyah. Tepat di saat saya sedang
bergairahnya menulis dan dekat dengan buku-buku. Sikap yang sok hebat, congkak,
pendiam dan misterius Rangga seakan-akan menjadi pendukung saya yang saya akui
agak penyendiri. Saya kutu buku abis saat itu dan benci ikut grudak-gruduk
(sekarang masih enggak ya?)
Ah, kok malah membincang diri? Ya, AADC. Garapan duet abadi Riri
Riza dan Mira Lesmana ini menyisakan lubang dan kepenasaran. Adegan film remaja
yang digadang-gadang sebagai inspirasi bangkitnya kembali film Indonesia itu
menggantung sekali. Asmara antara Cinta dan Rangga bertemu tapi keduanya
berpisah. Rangga terbang ke New York untuk satu purnama. Tapi sebelum sampai
satu purnama, film keburu rampung.
Setelah 12 tahun, Rangga kembali dan bertemu Cinta. Asmara
masih menyala di hati mereka. PHP seorang Rangga yang terlalu. Coba tjamkan, 12
tahun Bro! Siapa yang tahan? Tapi entah cinta. Entah Cinta!
AADC membuat saya merenungi diri, tentang sebuah dunia yang
sepi. Wujud nyatanya adalah Rangga. Rangga adalah remaja yang tak punya teman
dan tidak bisa bergaul, merasa terancam, punya trauma di keluarga, penyuka
puisi. Chairil Anwar!
Oh, ya. Chairil Anwar! Rangga selalu membawa-bawa itu buku.
AKU judulnya. Itu buku adalah naskah film karya Sumandjaya, sineas legendaris
kita punya (belakangan saya baru tahu kalau dia ayahnya Djenar Maesa Ayu). Tapi
kok itu buku ya? Itu buku kan bukan kumpulan puisinya Chairil misalnya. Semacam
penggambaran sosok Chairil yang belum sempat difilmkan karena Sumandjaya keburu
meninggal. Biografis begitu. Dan ini seperti mempunyai konsekuensi
menggambarkan sosok. Chairil pada Rangga atau apda entah siapa...
Masalahnya, apakah sosok Chairil lantas tergambar dalam
sosok Rangga? Saya kira tidak. Chairil tidak begitu sunyi. Dia sombong dan suka
begejekan. Ndlodok. Sama sekali bukan pendiam abis seperti Rangga. Chairil
adalah pencuri buku yang doyan minum dan masuk keluar pelacuran. Dan Rangga?
Lantas apakah dimunculkannya Chairil dalam film itu hanya
asal-asalan atau kebetulan?
Entahlah. Yang pasti Rangga telah kembali dan menyisakan
lagi-lagi penasaran karena dia pergi lagi. Kata para pakar, sebuah cerita yang
bagus selalu menyisakan sesuatu yang nyungsep di kepala.
Kota
Bojonegoro, 20 November 2014
Posting Komentar