Salvador Dali, The Temptation of St. Anthony, 1946 |
11 NOVEMBER adalah tanggal
lahir Pangeran Diponegoro. Dia sosok penting yang kita punya. Dia pemimpin besar
perang yang juga besar yang memporak porandakan kolonial saat itu, kisaran 1825
– 1830. Sejarah mencatat ini sebagai Perang Diponegoro. Sebutan lainnya adalah
Perang Jawa. Ini karena saking besar dan serempaknya perlawanan itu di seluruh
Jawa. Belanda bangkrut untuk membiayai perang ini. Di luar menghadapi lawan di
perang dunia II. Sementara di Indonesia, kuwalahan menggempur perlawanan
Diponegoro yang massif di hampir seluruh Jawa. Tentu itu butuh dana yang besar.
Diponegoro mempunyai misi
menyatukan Jawa di bawah bendera Islam. Perlawanan menumpas penindasan kafir
Belanda adalah jihad. Rakyat berpikiran seperti itu di bawah komando
Diponegoro, ningrat atau priyayi yang menolak tunduk pada Belanda, seperti
ayahnya, sultan Jogjakarta. Diponegoro juga tidak suka hidup secara borjuis.
Dia hidup sebagaimana rakyat, di mana terjadi jurang lebar antara penguasa dan
rakyat. Sebagai anak sultan dia malu. Maka, bergerak bebareng rakyat menjadi
semangat tersendiri. Dia memimpin kaum papa yang kelaparan karena bahan makanannya
dihisap besar-besaran oleh kolonial yang kongkalikong dengan para pembesar
Jawa. Kekuatan orang papa besar sekali bila mereka marah, kekuatan orang-orang
yang lapar.
Saya mengagumi Diponegoro.
Sejarah Diponegoro adalah sejarah Bojonegoro juga. Bersamaan dengan perang Jawa
itu, Bojonegoro adalah Rajekwesi. Rajekwesi menjadi salah satu titik penting
Perang Jawa itu, sebagai sebuah perlawanan di bawah komando Tumenggung
Sosrodologo, orang dekat Diponegoro. Pergolakan yang terjadi di Rajekwesi dan daerah
sekitarnyapun tak kalah penting dan seru. Pergolakan ini reda bersamaan dengan
ditangkapnya sang pemimpin besar Perang Jawa secara pengecut. Diponegoro ditipu
dengan rencana rundingan yang akal bulus itu.
Dan Sosrodilogo, akhirnya dia
dilupakan, sebagaimana orang tak lagi begitu mengingat Rajekwesi. Rajekwesi
akan mengingatkan orang pada pergolakan para pendahulu. Rajekwesi adalah
pemberontakan. Dan Bojonegoro, sebagaimana arti katanya, tunduk dan manut pada
negara, tidak memberontak.
11 November adalah hari lahir
Fyodor Dostoyevsky. Dia sastrawan besar Rusia. Dia dibaca dan dikenal seluruh
dunia lewat karya-karyanya berupa novel dan yang lainnya. Dia menjadi
inspirator bagi generasi setelahnya. Termasuk Haruki Murakami, Knut Hamsun, dan
yang lainnya.
Tokoh-tokoh Dostoyevsky adalah
orang-orang yang asing dari pusaran masyarakat. Asing karena berbeda prinsip.
Asing karena papa dan menghindari hidup seperti borjuis sebagaimana masyarakat
kebanyakan. Sebagaimana Dostoyevsky yang hidup miskin dan sosialis.
Saya belum pernah membaca
banyak karyanya. Yang terkenal adalah Kejahatan dan Hukuman.
Saya hanya pernah membaca sekilas tentang ini dari ulasan Yudi Latif dalam
sebuah artikelnya di Kompas tahun lalu
(pernah dijadikan bahan dalam Jianrapettenan
oleh Danial). Tentang perasaan bersalah karena melakukan tindak kejahatan dan
di sisi lain menyelami dilema cinta yang membingungkan.
Karya Dostoyevsky yang ada di
rak saya adalah The
Gambler. Ini bukan karya masterpiecenya, dan novel ini ditulis dalam waktu
satu bulan. Konon, sepeti saya baca di pengantarnya, karya ini ditulis ketika
Dostoyevsky sedang dalam krisis keuangan. Dia harus melunasi hutang pada
krediturnya sementara itu tak punya uang. Dia memberanikan diri membuat kontrak
dengan penerbit dengan uang muka untuk sebuah buku yang akan ditulisnya.
Penerbit itu meamberi tenggat waktu beberapa bulan. Kalau buku itu belum jadi,
penerbit mempunyai hak sepenuhnya terhadap penjualan buku-buku Dostoyevsky sebelumnya.
Hingga waktu tinggal sebulan lagi, Dostoyevsky belum menulisnya. Dalam waktu
sebulan itulah The
Gambler ditulis dan selesai dan kemudian meraih sukses di pasaran.
Saya baru membaca satu
karyanya, sebuah cerpen berjudul Maling yang Jujur.
Cerpen ini ada dalam kompilasi cerpen klasik dunia (berjudul Cinta Tak Pernah Mati)
yang diterjemahkan oleh Anton Kurnia dan Atta Verin, istrinya, dan diterbitkan
oleh Serambi (penerbit ini terlalu rajin menerbitkan karya terjemahan. Jempol
buat Serambi deh!). Gambar sampulnya adalah sebuah kembang mawar yang surealis,
meditatif rose, karya sang legenda Salvador Dali.
Maling
yang Jujur adalah cerita sederhana yang
menggugah. Tentang kehidupan kaum papa dan lapar yang tidak bisa berbuat
apa-apa. Tidak ada kejutan atau plot yang rumit. Kekuatannya terletak pada
emosi tokoh-tokohnya. Ini bisa dirasakan dengan membacanya langsung, bukan
lewat ulasan orang lain seperti catatan saya ini. Singkatnya, Maling yang Jujur
bercerita tentang sebuah keluarga sederhana yang baru menerima pendatang baru,
penyewa sebuah kamar kecil di dekat dapur. Pendatang itu bernama Astafi. Dia
mantan tentara yang jadi seorang penjahit. Kalem dan tidak banyak tahu tentang
hiruk pikuk dunia ini. Suatu malam terjadi sebuah pencurian yang amat konyol sekali.
Seorang maling mengambil mantel tuan rumah. Saat itu semua penghuni, tuan
rumah, Astafi dan dua orang pembantu ada di rumah. Maling masuk rumah dan
semuanya tahu itu. Tapi maling berhasil menggondol mantel itu. Astafi
mengejarnya dan kembali dengan tangan kosong.
Singkat cerita, sejak saat itu,
Astafi sering bercerita tentang kisahnya mengejar maling dan gagal itu.
Peristiwa itu mengingatkannya tentang kisahnya sendiri yang inilah sebenarnya
cerita yang dimaksud itu, Maling yang Jujur. Maling itu macam-macam dan salah
satunya maling yang jujur. Si tuan rumah tertarik mendengarnya.
Astafi bercerita tentang
dirinya dan rumah sewaan sederhana yang ditinggali bersama seorang miskin,
pemabuk, dan tidak bisa bekerja apa-apa bernama Emelian. Emelian ditemui
pertama kali di sebuah bar dan sedang mabuk-mabukan. Mereka ngobrol dan Astafi
merasa kasihan mengetahui Emelian hidup menggelandang. Emelian diajak ke
rumahnya. Satu hari dua hari tiga hari dan seterusnya Emelian seperti tidak
berniat beranjak dari rumah Astafi. Awalnya nyaman tetapi lama-kelamaan susah
juga. Astafi tidak berpenghasilan banyak sebagai penjahit. Sementara Emelian
hidup menggantung belas kasihan saja padanya. Pernah Astafi menyuruhnya pergi
namun ia merasa kuatir dan kasihan. Maka Astafi mencoba marah dan
diperingatilah Emelian agar tidak mabuk-mabukan. Kalau mabuk tidak boleh masuk
rumah. Emelian masih mabuk suatu malam. Dia merasa bersalah lalu keluyuran dan
tidak pulang. Astafi merasa bersalah dan kesunyia, lalu dicarinya Emelian. Dia
ditemukan tidur di tangga sebuah bandara. Diajaknya lagi Emelain pulang.
Hingga suatu ketika Astafi
mengalami krisis keuangan dan harus mencari rumah baru yang lebih kecil dan
murah. Mereka akhirnya berpisah dan Astafi dapat rumah sewaan milik seorang
perempuan tua. Hingga beberapa hari Astafi tidak melihat Emelian. Dan dia kaget
ternyata suatu malam dia melihat Emelian meringkuk di bawah jendela rumah
sewaannya. Kondisi Emelian masih tetap sama. Tetap mabuk-mabukan, tidak
bekerja, dan mengenaskan penampilannya. Emelian tinggal lagi bersama Astafi dan
lagi-lagi lumayan menyusahkan dengan kondisi keuangan yang kekurangan. Astafi
bermaksud memberi Emelian modal dengan uang hasil menjual celana hasil
jahitannya. Tapi Astafi kaget sekali bahwa celana itu tidak ada lagi di
kopornya. Saat dicoba tanyakan pada pemilik rumah, perempuan tua itu juga
mengaku kehilangan rok. Maka Astafi mencurigai Emelian. Tidak ada siapa-siapa
lagi di rumah itu selain mereka dan Emelian. Namun Emelian tidak merasa
mencuri. Meski demikian, Astafi terlanjur curiga dan sejak saat itu dia jadi
tidak suka pada Emelian. Dia mendiamkan Emelian hingga beberapa minggu.
Emelianpun merasa tidak enak hati dan bersalah dengan sikap Astafi. Akhirnya
dia pamit pergi. Astafi kuatir dan merasa bersalah sekali. Dia tidak bermaksud
tidak baik. Kemana Emelian akan pergi dengan kondisi seperti itu : kumuh, tua,
mabuk-mabukan, tidak bisa bekerja apa-apa. Direlakannya Emelian meskipun
beberapa minggu kemudian Emelian kembali lagi. Ia tampak sangat kurus dan menyedihkan.
Emelian sakit dan parah. Dokter mengatakan percuma mengobatinya. Di penghujuang
hidupnya, Emelian dengan terbata-bata mengaku dialah yang mengambil celana itu.
Tentu saya tidak bisa cerita
dengan lengkap dan dengan emosi dan rasa yang serupa. Saya tidak pandai untuk
itu. Membacanya sendiri terasa mengaduk-aduk emosi. Saya berencana akan membaca
The Gambler
yang saat ini tergeletak di rak saya.
Begitulah, membaca Dostoyevsky
adalah membaca tentang penderitaan dan keterasingan orang-orang miskin dan
jelata, papa. Kalau Dostoyevsky mengangkat senjata lewat tulisan, Diponegoro
dengan senjata aksi massa. Terlepas mereka berada di dua kutub yang berbeda,
mereka orang-orang luar biasa. Diponegoro meninggal dalam pembuangan. Namanya
harum hingga kini. Dia dikibuli, dikhianati, dan dipuja sekaligus. Dostoyevsky
mati kena penyakit epilepsi. Namanya masih ada hingga kini. Setiap orang yang
mengaku penulis dan sastrawan, saya tak ikut mengakuinya kalau dia tidak tahu
sama sekali tentang Dovtoyevsky. Paling tidak, sebatas menegok lah! Mereka
lahir di tanggal ini dan di masa yang hampir bersamaan. Catatan ini hanya ingin
mengucapkan selamat ulang tahun. Mereka telah mati namun sebenarnya hidup.
Mereka, seperti kata Chairil, hidup seribu tahun lagi...
Klampok-Rumah Baca!,
11 November 2014
Posting Komentar