(Resensi Novel Matilda Karya Roald Dahl)
Oleh Mohamad Tohir
SAYA baru merampungkan sebuah buku yang
menyenangkan, mencerahkan dan mencengangkan. Buku itu adalah sebuah
novel karya penulis kebangsaan Inggris bernama Roald Dahl (1916-1990).
Judulnya Matilda. Setelah membaca itu, gairah membaca saya
semakin membara. Saya merasa tidak ada apa-apanya dibandingkan tokoh di
dalam buku ini yang luar biasa.
Buku itu berkisah tentang pembaca
buku yang terasing dari komunitasnya, di tengah keluarga dan teman-teman
sekolahnya. Lokasi cerita adalah di sebuah kota di Inggris. Namanya
Matilda. Dia gadis kecil yang baru saja masuk sekolah. Dia hidup di
tengah keluarga yang mendewa-dewakan harta dan gaya hidup mewah. Ayahnya
adalah pengepul mobil rongsokan yang dijual kembali setelah diremake
begitu rupa sehingga nampak baru. Ibunya adalah seorang wanita sosialita
yang punya gaya hidup mewah, tidak cakap memasak, terlalu modis dan
menor dan sering menghabiskan waktu bermain bingo. Pokoknya, orangtua
Matilda adalah sosok orangtua yang tidak mau tahu apa dan bagaimana
kehidupan anaknya. Mereka tidak pernah menyadari bahwa anaknya, Matilda,
mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki oleh anak lain. Kalaupun toh
tahu, mereka tidak akan pernah percaya.
Matilda bosan hidup di
tengah-tengah keluarga yang menjalani hidup dengan rutinitas yang
begitu-begitu saja. Dia melampiaskan itu dengan membaca buku. Padahal
usianya baru sekitar 4-5 tahun. Suatu kali ia meminta uang kepada
ayahnya untuk beli buku. Bukannya dituruti dan disambut dengan baik,
Matilda malah dapat makian. Bukankah apa yang kita inginkan dan ingin
tahu sudah bisa didapat lewat televisi? Ya, keluarga Matilda adalah
keluarga yang mendewakan televisi. Mereka menghabiskan watu bersama
untuk nonton televisi dan menganggapnya sebagai guru. Gaya hidup mereka
adalah gaya hidup karena iklan televisi.
Akhirnya, Matilda
melampiaskan kekesalannya dengan mengunjungi perpustakaan umum di kota.
Awalnya, dia membaca buku anak-anak, tetapi setelah buku anak habis, dia
membaca habis karya-karya orang dewasa. Dia membaca karya Charles
Dickens, Ernest Hemingway, dan penulis-penulis besar lainnya.
Saat
tiba waktunya masuk sekolah, Matilda dikirim ke sekolah milik Miss
Trunbull yang ternyata tidak lain adalah pelanggan ayahnya sendiri. Miss
Trunbull adalah kepala sekolah yang berbadan superbesar dan jahat tiada
terkira kepada anak-anak. Dia tidak suka sama sekali pada anak kecil.
Anak kecil bagi Miss Trunbull adalah kecoa dan lalat yang harus dibasmi.
Dia mengaku bahagia karena tidak pernah dilahirkan sebagai anak-anak.
Entah bagaimana maksudnya. Sekolah di lembaga miliknya seperti
malapetaka bagi anak kecil. Dia tak segan menyiksa anak-anak dengan
menjewer telinga mereka sambil menggantung tubuhnya lalu dilempar
layaknya melempar sebuah bungkus makanan. Tenaganyapun luar biasa besar.
Sampai-sampai kalau ada anak yang melaporkan kekejaman yang dialaminya
oleh Miss Trunbull, orang tua mereka tidak akan percaya ada orang
sekejam dan sekuat itu.
Begitulah pada akhirnya novel ini
menemukan cerita sesungguhnya ketika Matilda bertemu Miss Honey, guru
kelasnya. Dengan Miss Honeylah dia bertemu, secara fisik maupun secara
jiwa. Miss Honeylah yang bisa memahami kecerdasan dan kelebihan Matilda.
Miss Honey tahu dan mengerti bahwa Matilda sudah bukan waktunya lagi
belajar bersama anak-anak TK. tetapi dia harus lebih pas lagi berada di
kelas paling akhir. Matilda tanpa berumit-rumit mampu menghitung sesuatu
yang semestinya itu hanya mulai diajarkan di kelas akhir.
Hingga
pada akhirnya Matilda membantu menyelesaikan masalah yang menimpa Miss
Honey. Pasalnya, Miss Honey juga mengalami masalah serupa Matilda dari
orang tuanya. Bahkan lebih parah lagi karena dia sampai terusir dari
rumah dan seakan-akan dibuang. Ibunya berlaku kejam padanya sejak
ayahnya meninggal. Rumah warisannnya diambil sepenuhnya oleh sang ibu
dan dia terpaksa menyewa rumah yang sangat kecil dan tidak layak untuk
ditempati oleh seorang guru cerdas, cantik, dan baik hati macam Miss
Honey. Paling tidak begitulah pikir Matilda.
Siapa ibu yang telah
kejam pada Miss Honey tersebut? Saya tidak akan mengulasnya di sini.
Yang pasti saya sebagai pembaca yang terkadang agak malas membaca buku
anak-anak, kali ini dibuat kaget, tercengang, dan harus menyatakan;
salut! Setelah tahu siapakah sejatinya ibu Miss Honey, cerita yang
sebelumnya nampak tercerai berai menjadi terang dan terjalin urutan yang
rapi.
Sebagaimana cerita anak, umumnya pasti berakhir bahagia,
begitulah adanya dengan novel ini. Matilda akhirnya hidup bahagia
bersama Miss Honey dan berpisah dengan orang tua aslinya. Orangtuanya
kabur karena kasus penipuan bisnis penjualan mobilnya.
Saya segera
menemukan semacam kesadaran baru selepas membaca buku ini. Yakni ketika
menyadari kenyataan bahwa para pembaca buku itu tidak semestinya lantas
hidup bahagia. Kebahagiaan kerap dialami dan didapatkan secara lebih
cepat oleh bahkan orang yang tidak membaca buku. Tidak ada jaminan para
pembaca buku lantas lebih melejit karirnya, lebih pasti suksesnya. Saya
yang sering-sering bilang bahwa kalau ingin sukses dan hidup bahagia,
maka kuncinya harus membaca buku, lantas berpikir ulang. Matilda
membuktikan itu. Dan orang-orang terpandang dan sukses di seklilingnya,
orangtua Matilda dan Miss Trunbull contohnya, adalah orang-orang yang
geli bila melihat atau berhadapan dengan buku.
Tapi buku ini,
kembali lagi, adalah novel. Adalah fiksi. Meskipun tidak nyata, tapi
paling tidak adalah cerminan atas pengalaman hidup faktual manusia. Apa
yang dialami oleh fiksi tidak sekadar angan-angan kosong. Karena,
seperti kata Seno Gumira Ajidarma, fiksi hidup di dalam pikiran. Pikiran
siapa saja dan dimana saja. Bisa lebih luas pemaknaannya. Tergantung
siapa yang memaknai dan bagaimana memaknai.
Siapa Roald Dahl? Saya termasuk orang yang terlambat mengetahui bahwa dia penulis luar biasa. Pada peringatan Worl Book Day
pada 2003 silam, di Inggris diadakan polling kepada masyarakat siapa
penulis yang digemari. Roald Dahl, di bawah JK. Rowling (pengarang Harry
Potter) ternyata menyingkirkan nama-nama pengarang besar sekelas peraih
Nobel seperti Ernest Hemingway, William Faulkner dan lain-lain.
Buku-buku karya Dahl antara lain The Gremlins, James and the Giant
Peach, Charlie and the Chocolate Factory, The BFG, Revolting Rhyme, The
Giraffe and the Pelly and Me dan masih banyak lagi lainnya.
Yang
pasti, Matilda tidak rugi dibaca oleh siapapun. Karena, buku ini,
meskipun tentang anak-anak, tidak lantas diperuntukkan hanya bagi
anak-anak. Buku ini juga layak, bahkan sepertinya harus, dibaca oleh
orang dewasa. Paling tidak mereka yang bergelut di dunia anak-anak.
Paling tidak, mereka yang mempunyai anak.
Karena, kerap kali, orang tua
memaksakan pikiran dewasanya untuk dipakai oleh pikiran anak-anak yang
semestinya punya pikiran sendiri yang seringkali berbeda dan bisa jadi
lebih baik. Membaca ini buku, paling tidak kita bisa mempertanyakan itu.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Posting Komentar