Aku Bukan Pramis

Oleh Mohamad Tohir
BEBERAPA percaya bahwa aku adalah pembaca Pram yang kuat. Beberapa percaya bahwa aku memiliki banyak buku-buku Pram. Beberapa bilang aku adalah Pramis. Bukan. Itu tak benar. Aku harus mengatakan itu.

Aku dan Pram hanyalah seekor semut di tengah gudang pabrik gula yang masih penuh. Aku hanya pengagum. Pengagum level bawah. Kroco. Pengagum yang baru sampai pada tahap kok bisa seorang menulis begitu hebatnya. Orang kok bisa menulis dalam keterbatasan yang sangat.

Menyandingkan nama pun bagiku sungguh sikap yang sangat keterlaluan dan sombong bingit. Kalaupun aku nampak memahami buku, pikiran dan sejarah hidup Pram, sebanranya itu hanyalah pura-pura, agar kelihatan keren gitu loch...

Aku, pemuda kebanyakan yang tolol dan kebingungan di tengah gemerlap dan gemuruh orang membincangkan Pram yang kini telah menjadi sebuah ikon massa yang menawarkan kekerenan itu. Aku hanya ikut-ikutan dan mabuk tanpa bisa mentas kembali.

Dua tahun lalu, seorang mahasiswa dari IKIP, Minanaw namanya, datang ke Rumah Baca dan bercerita tentang kekagumannya pada Pram. Dia membaca beberapa buku Pram. Dia hendak memintaku bicara mengenai Pram di tengah-tengah kelas diskusi 2 mingguannya bersama kawan-kawan pergerakannya. Aku sudah ampun-ampun bilang aku tak begitu paham dan bisa bicara. Dia ngotot dan memintaku, meski sebisaku saja. Dia bilang apa yang dijadikan bahasan adalah tentang “Suara Gagap dan Pintu yang Berderit Pramoedya Ananta Toer”.

Apaan itu? Untung saja aku pernah membaca, meski tak tuntas sebuah buku berjudul Clearing a Space. Itu salah satu artikel panjang karya Keith Fplcer yang bicara tentang masa-masa Pram belum bisa sepenuhnya menulis dengan baik.

Tahun ini, bulan Februari, aku terjebak dalam sebuah diskusi peringatan hari lahir Pramoedya di kampus IKIP PGRI Bojonegoro. Semestinya bukan aku yang bicara di depan. Aku sudah ampun-ampun, tetapi kenyataan tidak memungkinkan untuk aku menghindar dan lari. Akhirnya dengan memalukan aku bicara tentang Pram dan keharusan membaca karyanya sebelum orang mendiskusikannya. Suatu bentuk cara lainku melarikan diri yang tolol.

Beberapa minggu lalu, aku diminta bicara tentang buku Pram Arus Balik. Seorang kawannya kawan yang baru pulang dari jauh merindukan euforia pergerakan mahasiswa di tingkat kecamatan, di Bangilan Tuban sana. Dia mendirikan sebuah forum mahasiswa benama Forum Komunikasi Mahasiswa Bangilan (FKMB). Aku tentu saja lagi-lagi ampun-ampun. Mau tak mau aku harus mengajak Nanang Fahrudin, guruku yang baik hati dan pintar itu. Aku hanya menemanianya duduk di depan dan bicara tentang kekaguman-kekaguman tololku terhadap Pram. Kekaguman yang sebenarnya kalau ditelusuri ternyata palsu juga.

Beberapa hari yang lalu, alu bertemu dengan seseorang yang mengajakku berpikir bagaimana menghidupkan Gusdurian. Tentu saja aku tak punya apa-apa untuk bisa menghidupkan pengagum Gus Dur itu. Karena dia tidak melihatku punya ide atau apapun yang menarik tentang Gus Dur dalam diriku, dia segera menyimpulkan dengan kalimat tanya, “Kalau Pramis bagaimana?” Oh, hanya karena aku tidak menunjukkan sikap respek pada Gus Dur dia segera bilang aku Pramis?

“Aku bukan Pramis,” kataku tegas. Entahlah. Aku sedang berada dalam kondisi malu dan dwon luar bisa bila dihadapkan pada nama-nama besar itu. Rasanya aku menjadi orang paling goblok dan tolol membayangkan aku bisa membaca dan mengikuti jalan perjuangan orang-orang hebat itu. Aku orang biasa yang tidak punya arti apa-apa di tengah kebaikan, kebenaran, keadilan, kemanusiaan, ke dan ke dan ke dan ke apapun...

Ah, sebenarnya catatan ini belum selesai. Aku belum benar-benar mengamukakan alasan mengapa aku bukan Pramis dan bagaimanakah sebenarnya Pramis itu? Lain kali kesempatan aku akan mengulasnya.

Ya, begitulah. Malam masih malam dan akan tetap malam, sebelum kopiku habis, di sini, di meja kotor ini, aku duduk di depannya, pada kuri peot, ditemani kopi dan buku bergambar orang telanjang kaki. Begitu....
Warung Kopi Mbak Indah, Kalirejo, Kapas, 09 November 2015




Posting Komentar

Páginas

 

Copyright © Sebatas Menengok | Powered by Blogger | Template by 54BLOGGER | Fixed by Free Blogger Templates