Mengapa Buku Harus Dibaca?

Oleh Mohamad Tohir
SELEPAS mengikuti diskusi kemarin, saya jadi ingin membaca Ruang Inap Nomor 6. Penyaji dalam diskusi kemarin, Tulus Adarrma, berhasil memengaruhi saya untuk ingin membaca karya penulis cerita tentang orang-orang gila ini.
Memang saya telah membaca karya Chekhov sebelumnya, beberapa cerita pendek. Dan semua cerita pendek karya Chekhov yang saya baca, selalu membuat saya tertawa. Dari cerpen-cerpen Chekhov yang saya baca itu, membuat saya terburu-buru menyimpulkan bahwa Chekhov ini pembuat cerpen lucu. Padahal, tidak sepenuhnya demikian. Seperti kata Tulus, cerpen-cerpen Chekhov yang lucu-lucu itu ditulis dalam fase belum matang. Karya Chekhov yang ditulis di fase matang di antaranya adalah 7 karya dalam buku kumpulan cerita pendek Ruang Inap Nomor 6 itu.
Tentu ngisin-ngisini bukan? Saat Tulus merasa iba dan bergetar membaca karya Chekhov, eh saya malah tertawa. Pasti ada yang nggak benar dengan pikiran saya, atau hati saya yang sudah mengeras. Saya jadi merasa seperti orang yang nggak punya duga. Karena dorongan rasa isin inilah, saya mau tidak mau harus ikut membaca Ruang Inap Nomor 6, karya Chekhov matang. Biar bagaimanapun saya harus percaya Tulus Adarrma. Dia jebolan sastra Indonesia IKIP PGRI Bojonegoro. Skripsi dia tahun lalu, yang meneliti sebuah kumpulan cerpen karya Nanang Fa berjudul Langgar Bercahaya, menggunakan pembacaan strukturalisme genetik.
Maaf. Anda jangan berharap saya akan menulis bagus. Bagus dalam artian sesungguhnya. Bagus seperti apa yang dibilang Tulus Adarrma, mengandung kritik sos. Saya, terus terang, hanya ingin curhat. Saya tidak tahu apakah gejala yang terjadi pada saya ini juga terjadi pada orang lain. Saya juga sempat merasa bahwa ini adalah sebuah penyakit. Saat perasaan demikian datang, saya jadi ge dan er bahwa saya ini orang paling nelangsa di dunia.
Begini, beberapa bulan ini saya sering gonta ganti baca buku. Maksudnya, belum selesai satu buku, lalu sudah buka buku lain. Sebenarnya bukan hanya buku, termasuk… ehm, per… Nggak jadi. Akhir Desember lalu saya sedang membaca Arete Hidup Sukses Menurut Plato karya Romo Setyo Wibowo. Saya membacanya karena ingin sukses. Tapi buku itu malah membuat saya pusing dan membuat saya banyak berpikir. Belum ada separo halaman saya baca dalam seminggu, saya sudah ganti buku Istanbul karya Orhan Pamuk. Gara-garanya seorang teman cerita tentang eksotisme Istanbul dan orang-orang muslim baik hati tapi malas salat. Namun, belum dapat seperempat buku terbaca selama sekitar seminggu, saya sudah membuka Ayat-Ayat Cinta 2 karya Habiburrohman Saerozy. Gara-garanya seorang teman muslim mengaku tidak karya sastra seindah karya Kang Abik (nama akrab Habiburrohman Saerozy). Saya penasaran dan pinjam buku. Sekarang buku itu tidak terbaca gara-gara saya membaca status seorang kawan yang berupa kata-kata seseorang bernama Dimas Suryo, tentang kesukaannya pada salah satu Pandhawa bernama Bima, satu-satunya dari kelima suami Drupadi yang melawan saat sang istri dilecehkan. Dimas Suryo ini tak lain adalah tokoh dalam novel Pulang karya Leila S Chudori. Saya suka sekali dengan pasase dalam status teman saya itu. Saya yang sudah merasa membaca buku itu kok seperti tidak menemukan pasase itu. Jadilah saya membaca ulang Pulang dan menggeletakkan Ayat-Ayat Cinta 2. Namun belum selesai Pulang saya baca, saya ingin baca Ruang Inap Nomor 6 karya Chekhov. Gara-garanya Tulus Adarrma yang seakan-akan mengubah persepsi saya mengenai karya Chekhov.
Saya tidak tahu, apakah saya saja yang merasa begini. Apakah perasaan ini wajar. Dan gejala apakah ini. Saya benar-benar tidak tahu.
Saat mencatat ini pada selembar kertas, saya sedang berada di sebuah tempat minum kopi depan toko buku tengah kota. Sejam lagi toko itu baru buka. Saya akan membeli Ruang Inap Nomor 6. Dan waktu terus berjalan.
Ada selembar kertas dengan deretan kata membentang. Mereka berkata;
“Maknailah meski hanya satu kata sederhana,” Cala Ibi.
Ndalem Atas Angin, 23 Januari


Read More →

Pemanah Hebat Bukan Hanya Arjuna

OLEH MOHAMAD TOHIR


SELAMA setahun lebih saya tak mengisi blog ini. Tapi bukan berarti saya tak menulis sama sekali. Sebagai seorang pengarang yang belum berhasil, tentu tidak menulis merupakan dosa besar. Saya telah menulis beberapa cerpen, surat, dan puisi (hehehe). Beberapa jadi, beberapa setengah jadi, beberapa hanya judulnya saja atau kalimat awalnya saja. Semua ada di laptop saya. Langkahi mayat saya kalau ingin membacanya.
Hanya saja persoalan menulis tentu bukan saja sekadar merangkai kata – kata belaka. Ada proses panjang yang melatarbelakangi, mengikuti dan melingkupinya. Artinya, tulisan tidak berdiri sendiri sebagai sebuah teks, melainkan terlibat dan melibatkan konteks. Itulah hakikat sebuah tulisan.
Sejarah membuktikan, tulisan – tulisan yang dibarengi dengan laku yang penuh tragik kerap kali (untuk tak menyebutnya selalu) menjadi besar. Contoh kecil saja, puisi – puisi Wiji Tukul, yang menurut saya banyak yang tak indah (tanpa membahas lebih dalam makna keindahan), hingga kini masih dibaca dan jadi alat untuk mengumpat penguasa. Dan kita tahu, bagaimana Wiji Tukul menulis. Pikiran dan kondisi apa yang melingkupinya saat dia menulis? Nyawa taruhannya. Kita sama tahu, Wiji Tukul hingga saat ini tak pulang. Ia hilang dalam pekat misteri. Tapi puisinya terus hidup.
Jadi, bisa dikatakan, sebuah tulisan yang memenuhi kutukan orang Yunani sebagai scripta manent, bukanlah sembarang tulisan. Nah, tulisan – tulisan saya tentu saja jauh dari kesan demikian. Kalau menyadari itu selalu membuat nyali saya ciut. Kadang – kadang saya merasa sebagai orang terpuruk dan tolol.

***
SAYA sedang membaca novel Pulang karya Leila S Chudori saat ini, sudah sejak dua minggu yang lalu. Membaca novel ini membuat saya merasa bahwa saya tak mungkin ada dalam pusaran jagat kepengarangan. Saya sudah tahu dari awal bahwa saya tidak mungkin bisa menulis demikiam, kalau ada standar bahwa karya yang bagus adalah karya seperti demikian (Pulang).
Namun sekelumit cerita tentang Ekalaya dalam novel ini (tokoh kesukaan Dimas Suryo), membuat saya lerem. Saya juga menyukai Ekalaya memang. Dia tak masuk dalam arus besar cerita Mahabharata, meski dia tak bisa diabaikan. Dia pemanah yang jauh lebih hebat daripada Arjuna. Dan Ekalaya mampu memanah dengan hebat karena berlatih dengan serius seraya menabalkan keyakinan bahwa tak sepenuhnya pemanah yang hebat adalah dari kalangan utama seperti Pandhawa atau lebih spesifik, Arjuna.
Masalahnya adalah sehebat apapun Ekalaya memanah, dia tetap tak berguna. Dia tidak ikut dalam Bharatayudha. Yah, begitulah!
Klampok, 12 Januari 2017





Read More →

Páginas

 

Copyright © Sebatas Menengok | Powered by Blogger | Template by 54BLOGGER | Fixed by Free Blogger Templates