OLEH MOHAMAD TOHIR
SELAMA setahun lebih saya tak mengisi blog ini. Tapi
bukan berarti saya tak menulis sama sekali. Sebagai seorang pengarang yang
belum berhasil, tentu tidak menulis merupakan dosa besar. Saya telah menulis
beberapa cerpen, surat, dan puisi (hehehe). Beberapa jadi, beberapa setengah
jadi, beberapa hanya judulnya saja atau kalimat awalnya saja. Semua ada di
laptop saya. Langkahi mayat saya kalau ingin membacanya.
Hanya saja persoalan menulis tentu bukan saja sekadar
merangkai kata – kata belaka. Ada proses panjang yang melatarbelakangi,
mengikuti dan melingkupinya. Artinya, tulisan tidak berdiri sendiri sebagai
sebuah teks, melainkan terlibat dan melibatkan konteks. Itulah hakikat sebuah
tulisan.
Sejarah membuktikan, tulisan – tulisan yang dibarengi
dengan laku yang penuh tragik kerap kali (untuk tak menyebutnya selalu) menjadi
besar. Contoh kecil saja, puisi – puisi Wiji Tukul, yang menurut saya banyak
yang tak indah (tanpa membahas lebih dalam makna keindahan), hingga kini masih
dibaca dan jadi alat untuk mengumpat penguasa. Dan kita tahu, bagaimana Wiji
Tukul menulis. Pikiran dan kondisi apa yang melingkupinya saat dia menulis?
Nyawa taruhannya. Kita sama tahu, Wiji Tukul hingga saat ini tak pulang. Ia
hilang dalam pekat misteri. Tapi puisinya terus hidup.
Jadi, bisa dikatakan, sebuah tulisan yang memenuhi
kutukan orang Yunani sebagai scripta manent, bukanlah sembarang
tulisan. Nah, tulisan – tulisan saya tentu saja jauh dari kesan demikian. Kalau
menyadari itu selalu membuat nyali saya ciut. Kadang – kadang saya merasa
sebagai orang terpuruk dan tolol.
***
SAYA sedang membaca novel Pulang karya Leila S Chudori
saat ini, sudah sejak dua minggu yang lalu. Membaca novel ini membuat saya
merasa bahwa saya tak mungkin ada dalam pusaran jagat kepengarangan. Saya sudah
tahu dari awal bahwa saya tidak mungkin bisa menulis demikiam, kalau ada
standar bahwa karya yang bagus adalah karya seperti demikian (Pulang).
Namun sekelumit cerita tentang Ekalaya dalam novel ini
(tokoh kesukaan Dimas Suryo), membuat saya lerem. Saya juga menyukai Ekalaya
memang. Dia tak masuk dalam arus besar cerita Mahabharata, meski dia tak bisa
diabaikan. Dia pemanah yang jauh lebih hebat daripada Arjuna. Dan Ekalaya mampu
memanah dengan hebat karena berlatih dengan serius seraya menabalkan keyakinan
bahwa tak sepenuhnya pemanah yang hebat adalah dari kalangan utama seperti Pandhawa atau lebih spesifik, Arjuna.
Masalahnya adalah sehebat apapun Ekalaya memanah, dia
tetap tak berguna. Dia tidak ikut dalam Bharatayudha. Yah, begitulah!
Klampok, 12 Januari 2017
Posting Komentar